Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ini menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi propinsi paling miskin di Indonesia setelah propinsi Papua dan papua Barat. Kepala BPS NTT, Maritje Pattiwaellapia, menjelaskan bahwa peranan komoditi makanan lebih besar mempengaruhi posisi masyarakat miskin terhadap garis kemiskinan dibanding komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, maupun kesehatan.
Ada satu juta lebih penduduk miskin di NTT berdasarkan survey seperti yang disampaikan kepala BPS NTT. Artinya, bisa jadi, angka kemiskinan masyarakat NTT relativ lebih tinggi jika saja aspek lain yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat juga diikutsertakan sebagai indikator (HU Pos Kupang edisi 5/1/17).
Oleh Viktoria Fanggidae, peneliti perkumpulan Prakarsa, 99 persen lebih penduduk miskin NTT diketahui tidak mampu mengakses bahan bakar/energi untuk memasak, 87 persen lebih dari mereka yang belum memiliki sumber penerangan, 68 persen lebih penduduk miskin ini tidak mampu mengakses air bersih, dan 67 persen lebih dari mereka juga belum memiliki fasilitas sanitasi yang layak (HU Pos Kupang edisi 5/1/17).
Menariknya, beragam tawaran solusi memerangi kemiskinan yang ikut hadir memenuhi ruang publik terbaca sebagai sekedar pertarungan gagasan yang diyakini hanya akan habis sebagai wacana seiring akan munculnya fenomena/peristiwa baru dengan opini publik yang mengikutinya.
Jika ditelusuri dalam pemberitaan media, keprihatinan terhadap kemiskinan dan berbagai gagasan solustif untuk memeranginya sudah berulang mengisi ruang media dalam rentang waktu yang relatif banyak. Bisa jadi, di tahun - tahun mendatang, pemangku kepentingan juga akan sama reaktifnya ketika dihadapkan pada tampilan statistik dari ukuran kemiskinan yang relatif tidak berbeda dengan ukuran tahun ini.
Karena itu, bagi saya, mewakili beragam elemen masyarakat awam yang buta terhadap berbagai teori pembangunan, tawaran solusi yang dimunculkan elemen pemerintah (termasuk wakil rakyat) untuk memberantas kemiskinan diyakini sulit mengurai persoalan klasik ini. Basi dan sarat aroma kepentingan sempit, begitu kecurigaan masyarakat yang sudah benar -- benar apatis terhadap kehadiran pemerintah. Bukankah kemiskinan masyarakat dan perilaku korupsi anggaran pembangunan masyarakat sudah berjalan seiring sama lama selama ini?.
Tidak heran, segala bentuk kegiatan pembangunan di tingkat masyarakat dicurigai tidak sedikit elemen masyarakat sebagai kamuflase dari aksi penggerogotan anggaran rakyat. Pembangunan jalan, embung, sarpras pendidikan, sarpras kesehatan, sumur, maupun bangunan lain yang tidak sedikit darinya sarat aroma korupsi menguatkan kecurigaan masyarakat.
Besaran biaya yang dikeluarkan pengembang proyek untuk mendapatkan material batu dan pasir di tidak sedikit daerah kantung kemiskinan yang relatif kecil dibanding besaran biaya dalam Rancangan Anggaran Biaya (RAB) menjadi contoh bahwa ada semacam cela yang memang disengaja oleh pemerintah, DPRD, dan pengusaha untuk mendapatkan kelebihan anggaran yang relatif besar.
Dalam banyak kasus, diyakini bahwa cela seperti inilah yang kemudian memunculkan perselingkuhan antara oknum pemangku kepentingan dengan oknum pengusaha. Belum lagi berbagai dugaan korupsi yang bermain menggunakan berbagai modus sehingga mengurangi kualitas pekerjaan. Akibatnya, segala macam bentuk proyek selalu dicurigai sebagai lahan bagi oknum pemerintah untuk mempertebal saku.
Tak heran, kadang -- kadang, banyak proyek fisik yang sungguh tidak tepat menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat tetapi dihadirkan dengan anggaran yang cukup besar yang kuat diduga sudah digiring sejak tahapan perencanaan oleh oknum berkepentingan sempit agar anggaran rakyat dapat digerogoti. Pergilah ke Amfoang atau Fatuleu di kabupaten Kupang, akan didapati banyak gedung posyandu berbiaya puluhan hingga ratusan juta di banyak titik di tidak sedikit desa miskin yang hanya diperuntukkan untuk menimbang anak balita sekali sebulan. Akan didapati juga bahwa milyaran anggaran hanya dihabiskan untuk membuka gang baru yang sungguh sangat tidak dibutuhkan masyarakat, rabat di jalur yang tidak strategis, dan banyak kegiatan fisik yang sarat kebohongan dan aroma korupsi.
Dikhawatirkan, pemerintah, dihadapan rakyat yang sudah sangat apatis, akan dianggap kelihatan seperti segerombolan perampok berseragam yang jelas -- jelas tidak peduli dengan kemiskinan rakyat. Segala produk pembangunan dicurigai telah ditunggangi kepentingan sempit.