Lihat ke Halaman Asli

Baskoro Endrawan

TERVERIFIKASI

Keterangan apa ?

Hai Orang Beriman, Yang Tidak Beriman Tidak Hai?

Diperbarui: 27 Oktober 2016   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: memolition.com

Anekdot lucu satir yang sudah jamak terdengar ini emang unik.

Mengutip awalan ayat suci yang sepertinya memberikan kabar 'khusushon' bagi orang yang beriman saja? Sebetulnya tidak demikian artinya. Seruan ini sejatinya merupakan satu perintah yang benar. Bermakna pemberitahuan, ajakan yang baik untuk menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Sayangnya, akhir-akhir ini kata beriman atau tidak menjadi satu hal yang seakan-akan 'memperbolehkan' manusia satu dengan yang lain untuk menjustifikasi saya atau Anda termasuk ke kelompok yang mana. Kalau Anda enggak mau marah-marah, tampak meradang dan bahkan (terkadang) punya keinginan untuk memotong tangan dan mengusir seseorang dari Indonesia, konon, jarene, katanya, Anda secara otomatis masuk ke golongan yang 'kurang beriman' tadi.

Berarti secara otomatis, sudah masuk ke golongan yang enggak dapet sapaan 'hai' tadi?

Ya buat golongan eksklusif beriman tadi ya mungkin jelas Anda gak akan dapat sapaan 'hai' tadi. Karena konsep keimanan dan tahu tidaknya iman seseorang mutlak milik mereka. Tidak ada lagi wajah yang ramah. Yang ada apabila tidak cocok, tidak pas dengan paham yang mereka anut, ya secara otomatis 'tidak hai' tadi pun berlaku. Secara subyektif penulis akan berpendapat, masa bodohlah dengan takaran keimanan versi kalian ini

Istilah anak sekarang, jangan baper untuk meminta orang supaya melihat keimanan kalian, karena percuma menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Cinta dan iman sepertinya berjalan bersama, tetapi ada garis tipis yang memisahkannya. Agama, tuntunan dan keyakinan diciptakan untuk memberikan rasa tentram dan damai dalam diri manusia yang terlahir kosong ini. Kalau yang terjadi malah sebaliknya? Wallahua allam bishawab.

Coba kita bercermin dan secara jujur bertanya, karena di sini baik beriman atau tidak minimal kita sama sama harus setuju bahwa urusan kedalaman hati, hanya diri kita sendirilah yang tahu. Kalau kita kebetulan beriman, ya Tuhan pun tahu jelas apa isi hati yang terdalam itu. Apakah kita benar-benar marah karena keyakinan yang diinjak-injak, atau sejatinya sifat marah yang timbul karena ego sebagai manusia lah yang timbul?

Atau selama ini senyum penuh kasih yang terlihat agamis ini ternyata sekadar berpura pura? Yang sebetulnya di dalam hati menunggu dan menunggu, saat yang tepat untuk menampakkan hati yang asli. Memakai kedok 'iman' untuk amarah? Dua hal yang gak nyambung sama sekali sebetulnya.

Karena seseorang melatih dan terus berusaha memperbaiki imannya untuk menghilangkan amarah. Jangan dibalik, atau bahkan digabungkan.

Bahkan, seorang utusan-Nya. Rasulullah SAW sendiri pun pernah ditegur-Nya, saat Beliau bermuka masam. Ingat dengan surat Abasa? Adalah Abdullah Bin Ummi Maktum, yang membuat Rasulullah SAW ditegur karena bermuka masam kepadanya. Hanya bermuka masam, yang sudah barang tentu manusiawi bagi seseorang sekalipun Ia adalah Rasulullah SAW sendiri. Dan Surah Abasa ini pun seakan akan menjadi sebuah pengingat akan muka masam atau bahkan muka marah kita sendiri.

Tapi lagi lagi, itu kalau seseorang merasa beriman. Atau dalam hal ini, mempercayai apa yang ada didalam surat tersebut. Yang gak percaya, ya tentu saja tidak hai (lagi-lagi). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline