Lihat ke Halaman Asli

Band

TERVERIFIKASI

Let There Be Love

Merah di Tanamera

Diperbarui: 13 Maret 2023   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imaged by pixabay.com

Hujan tanggung meredam sedikit udara malam panas di Tanamera, orang-orang mengendurkan waktu kerja panjang hariannya. Ibu-ibu memasak malam, lelaki banyak duduk berbicara meleraikan penat. Hari biasa seperti hari tanpa perubahan.

Rumah-rumah berdempetan dan sebuah alur jalan di tengahnya sejarak mobil masih menyempatkan kesibukan lintas yang riuh. Suara-suara mesin vehicle motor, mobil bercampur bunyi anak-anak yang bermain dan bayi-bayi yang merengek. 

Degup Tanamera memang tipikal seperti detak jantung kampung-kampung yang lain. Kampung serba setengah, setengah tembok setengah triplek, tapi Tanamera punya sejarah rumit sejak dia hanya dipisah sebatas dinding dari lapangan kantong-kantong besi likuid beraroma wangi berdiameter ratusan. Hanya sepelemparan batu jaraknya, sehingga deru aliran pipa cair dan bau aromatik yang lembut kerap membelai lapisan udara Tanamera.

Menuju pukul tujuh, seorang lelaki tigapuluhan berjalan terbungkuk menyusur dinding batas yang panjang. Cahaya menyembunyikan sosoknya merupa bayangan, sekilas sinar mencuri bagian wajahnya yang bergaris kuat berjanggut dan berkumis tebal sementara rambutnya bergerai menggapai bahu. 

Lelaki itu melangkah perlahan, sesekali lengannya menyentuh tembok batas kampung Tanamera dengan lapangan tangki, sesekali dia menatap langit kelam. Sebentar langkahnya membeku seperti mengukur jarak dan waktu, lalu meraba susunan bata seperti meraba temperatur, lalu dia menyeberang menghitung langkah ke deretan residensi yang pepak, kemudian kembali, dia menyusuri dinding batas.  Begitu berulang-ulang dia lakukan.

Beberapa orang melihatnya selintas bertanya. Apa yang tuan kerjakan?
Lelaki bergurat itu menoleh dan menatap tembok. Batas ini terlalu dekat dengan langit! Katanya, suaranya berat. Orang-orang berpandangan tidak mengerti lalu meninggalkannya, beberapa menggeleng. Lelaki itu kembali menyampingi dinding batu bata.

Menjelang malam jam delapan, lelaki bertangan kokoh itu melekatkan pendengaran di lapis dinding, kemudian tmengamati rembulan yang tersaput mendung seperti berujar , tibakah waktunya? Dan dia sudah mendengar suara gelombang dalam silinder panjang, bercampur suara perintah-perinah di sebalik dinding.

Tekanan pipa sudah dinaikkan! Sekarang babi siap diluncurkan! Suara itu didengarnya, dan lelaki merasakan getaran dalam tanah. Getaran bergeser ke permukaan bumi. 

Shutdown! Shutdown! Tak berapa lama terdengar susulan teriakan dari balik tembok. Bersamaan, sang pria brewok mengendus aroma rantai karbon dengan gradasi menyengat. Sedemikian segrakah kini? Paras pria itu berkerut, dia menatapi orang-orang di sepanjang jalan, lalu dengan gerak kebas, dia menjelang kerumunan terdekatnya.

Pergilah! Tanda-tanda sudah dekat! Sergahnya bagai perintah menyuruh minggat. Tapi orang-orang memandang ganjil, mereka berbisik bahwa hal biasa, bahwa bau rantai karbon sedang membumi Tanamera.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline