[caption caption="Penampakan Musium Kereta Api Ambarawa (foto: bamset)"][/caption]Setelah hampir dua tahun tak berkunjung ke Musium Kereta Api di Ambarawa, Kabupaten Semarang, akhirnya Jumat (29/1) siang, saya ada kesempatan bertandang ke kandang lokomotif–lokomotif uzur tersebut. Banyak sekali perubahan di sini, usai direnovasi yang memakan waktu cukup lama.
Untuk masuk ke Museum, pengunjung wajib membayar tiket sebesar Rp 10 ribu (dewasa) sedang anak-anak cukup membayar Rp 5 ribu. Sebagai warga yang baik, saya pun merogoh dompet Rp 10 ribu guna menikmati besi-besi tua yang dulunya berjasa bagi trasportasi massal tersebut. Karena kebetulan, ada empat keponakan yang ikut, penjaga memberikan dispensasi, mereka pukul rata kena tarif Rp 20 ribu. Sejak memasuki halaman, kesan yang saya tangkap, bekas stasiun ini dikelola dengan secara profesional. Terlihat nyaris semua sudut terlihat bersih dan rapi.
Akhir tahun lalu, Museum Kereta Api Ambarawa kembali mendapat tambahan koleksi. Dua lokomotif tua didatangkan dari Depo Cirebon, Jawa Barat. Lokomotif tersebut berseri DD.5512 dan CC.200.15 yang diangkut menggunakan truck trailer. Konon, untuk mengangkut dari stasiun Poncol Semarang sekaligus menurunkan di lokasi, mengakibatkan kemacetan di sepanjang perjalanan. Maklum, selain besar juga panjangnya lumayan.
[caption caption="Tulisan Ambarawa cukup besar yang ada di halaman (foto: bamset)"]
[/caption]Dengan penambahan dua lokomotif ini, maka total koleksi lokomotif di Musium Kereta Api Ambarawa mencapai 17 unit. Rinciannya, 20 lokomotif uap dipajang alias mesinnya mati, dua unit lokomotif uap siap operasi terdiri atas B 5112 dan B 2502, lokomotif uap yang tengah diperbaiki satu unit bernomor seri B 2503, empat unit lokomotif diesel siap operasi bernomor seri D.300.230, D.301.34 serta lokomotif yang baru tiba.
“Nantinya Musium Kereta Api Ambarawa hanya akan diisi dengan lokomotif uap saja, sedang lokomotif jenis diesel akan ditempatkan di Stasiun Kereta Api Tuntang, Kabupaten Semarang,” kata salah satu petugas ketika saya ajak berbincang.
Menurutnya, bagi pengunjung yang datang berombongan, sebenarnya bisa menikmati sensasi naik kereta uap menuju Stasiun Tuntang yang berjarak sekitar 10 kilometer. Untuk merasakan laju lokomotif yang tengah menarik gerbong berisikan 120 orang itu, dikenakan tarif sebesar Rp 50 ribu perorang. “ Kereta akan melewati pinggiran Rawa Pening dan persawahan mas,” ungkapnya.
Lokomotif uap yang dimanfaatkan untuk perjalanan menuju Stasiun Tuntang adalah lokomotif bernomor B 25 02 dan B 25 03 buatan Maschinenfabriek Esslingen, sedang yang berseri B 51 12 buatan Hannoversche Maschinbau AG. Hebatnya, lokomotif uap bergerigi ini merupakan salah satu dari tiga lokomotif yang ada di dunia.
[caption caption="Keponakan-keponakan (Yesica, Jojo, Jerry & Jonas) lagi mejeng (foto: bamset)"]
[/caption] Dibangun Tahun 1873
Museum Kereta Api Ambarawa sendiri, awalnya adalah stasiun yang dibangun Belanda pada tanggal 21 Mei 1873. Pemerintahan kolonial Belanda, mendapat perintah langsung dari Raja Willem I agar dibangun sebuah stasiun guna memperlancar pergerakan pasukan karena Ambarawa merupakan basis militer penjajah tersebut. Didirikan di atas lahan seluas 127.500 M2, di stasiun itu dijadikan titik pertemuan antara stasiun Yogyakarta, Semarang mau pun Kedung Jati, Kabupaten Grobogan.
Ambarawa yang jadi basis pertahanan pasukan Belanda, tercatat dalam sejarah, bahwa Panglima TNI Kolonel Soedirman tanggal 12 Desember 1945 pernah menggempur kota kecamatan ini melalui pertempuran Palagan. Berkat strategi yang jitu, pasukan Sekutu dan Belanda dibuat kocar-kacir. Saban tahun peristiwa heroik tersebut selalu diperingati oleh pihak pemerintah kabupaten setempat mau pun jajaran militer. Untuk menyimak sejarah perang Palagan, bisa berkunjung ke Musium Palagan yang letaknya hanya berjarak 500 meter dari Stasiun Kereta Api Ambarawa.
[caption caption="Rumah lokomotif yang masih aktif (foto: bamset)"]
[/caption]Kembali pada keberadaan Stasiun Kereta Api Ambarawa, setelah Belanda hengkang dari bumi Indonesia, jalur Kedung Jati, Tuntang hingga Ambarawa tetap dimanfaatkan sebagai sarana transportasi rakyat. Maklum, waktu itu yang namanya angkutan umum bisa dikata sangat jarang. Sehingga angkutan kereta api menjadi primadona bagi kaum marjinal. Para pedagang kecil, mayoritas menggunakan jasa kereta ini untuk berangkat mau pun pulang ke kampungnya masing- masing.