Lihat ke Halaman Asli

Bambang Iman Santoso

CEO Neuronesia Learning Center

Proses Belajar Sesungguhnya

Diperbarui: 5 Maret 2020   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Neuronesia

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Jakarta, 5 Maret 2020. Seperti kita ketahui berat otak kita sekitar 3 pon atau kurang lebih 1,5 kg. Setiap manusia akan menghabisi energi untuk otaknya yang membutuhkan sekitar 20% dari oksigen darah tubuh kita. 

Di dalam otak manusia terdapat 86 s/d 100 miliar neurons sel otak dengan masing-masing neuron memiliki antara 1.000 s/d 10.000 sinapsis hubungan antar sel-sel otak. Setiap pikiran, setiap tindakan, dan setiap memori dikelola dan disimpan di jalur-jalur antar neuron ini yang dikenal dengan istilah 'jalan pikiran' atau neural pathways.

Kemudian apa artinya ini?

Nah, ternyata setiap otak kita itu memang unik dan terorganisasinya pun secara unik. Namun dari dulu sekolah telah mendidik siswa seolah-olah mereka memiliki otak yang identik, dalam upaya memastikan pendidikan akuntabilitas yang mempunyai mutu standar. 

Secara tidak disadari justru tidak memfasilitasi proses pembelajaran yang sesungguhnya. Sebagai pembentukan pendidikan secara sistematis, malah membongkar kreativitas dan motivasi siswa kita.Siswa terlibat dengan pembelajaran baru kurang dan sangat kurang serta tidak mempertahankan pembelajaran dan memori jangka panjang yang sesungguhnya.

Jadi penting diketahui bersama; bagaimana cara kita para pendidik merancang pembelajaran untuk memfasilitasi tujuan akhir dari penetrasi ingatan jangka panjang ini atau sering dikenal sebagai long-term memory.

Ya, betul kita harus mulai dengan "membajak" otak mereka. Pada dasarnya ada dua cara untuk melakukan ini; yaitu dengan menyuguhkan otak pengalaman yang menyenangkan (pleasurable experience) atau sebaliknya - pengalaman yang menyakitkan (painful experience). 

Sayangnya dorongan yang lebih kuat dari keduanya adalah pengalaman yang menyakitkan. Seorang guru bisa saja menyiapkan pelajaran yang paling luar biasa menarik. Tetapi jika siswa mengalami rasa sakit sosial atau emosional fisik, rasa sakit akan menahan perhatian mereka daripada pembelajarannya itu sendiri.

Untuk menghentikan hal ini terjadi kita harus mulai dengan memastikan bahwa setiap siswa memiliki lingkungan belajar yang aman dan bebas risik, risk-free learning environment. Sehingga memberikan kesenangan sebagai cara terbaik untuk melibatkan otak siswa kita. Agar dapat membuat belajar yang menyenangkan itu harus; relevan, bermakna, dan enjoy.

Jadi tanyakan saja satu pertanyaan sederhana; "Akankah saya dapat menikmati duduk di kelas saya sepanjang hari dan setiap hari ?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline