Lihat ke Halaman Asli

Ayu Setia Ningsih

Batam-Indonesia

Membangun Budaya Positif di Sekolah

Diperbarui: 23 Desember 2021   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

source: Freepik

Budaya positif perlu kita tumbuhkan di lingkungan sekolah. Ibarat petani yang sedang bercocok tanam, budaya positif sama halnya seperti memberi rangkaian perawatan terhadap bibit tersebut agar dapat tumbuh dengan subur dan sehat. 

Adapun perawatan untuk 'bibit unggul' di sekolah kita adalah dengan membangun disiplin yang positif. Membangun budaya positif di lingkungan sekolah juga perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak terutama seorang pendidik. 

Budaya adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan diyakini sebagai hal yang sukar diubah. Terkait dengan kebiasaan, tentu saja dimulai dari karakter baik yang harus sudah dimiliki oleh seorang pendidik. Murid akan mencontoh teladan yang baik dari seorang guru yang ia hormati.

Pertama, membudayakan disiplin positif yang perlu kita lestarikan sejak dini. Motivasi tertinggi untuk menunjukkan kedisiplinan adalah keyakinan diri dari seorang murid bahwa ia perlu menaati peraturan bukan karena takut akan hukuman melainkan ia percaya bahwa di setiap peraturan memiliki kandungan kebaikan bagi dirinya dan orang lain. 

Selanjutnya, posisi kontrol seorang guru terhadap pemberlakuan disiplin yang positif. Kebanyakan yang terjadi, konsentrasi seorang pendidik saat menegakkan disiplin adalah dengan membangun imej bahwa ia adalah pendidik yang garang. 

Padahal hal ini adalah keliru. Posisi penghukum ketika menjadi seorang pendidik tentu akan berdampak negatif pada murid. Mereka akan merasa takut, tetapi jika tidak terus diawasi, mereka bisa saja mengulang pelanggaran disiplin. 

Seorang pendidik hendaknya menjadi seorang manajer yang baik bagi seorang murid ketika mendapati muridnya melakukan kesalahan. Tidak perlu marah, menunjukkan 'taring' atau bahkan memelas agar mereka berhenti melakukan pelanggaran disiplin tersebut. Kita hanya perlu memahami posisi mereka dengan menggunakan segitiga restitusi: 

1. Menstabilkan identitas,
2. Memvalidasi alasan mereka melakukan pelanggaran, dan
3. Menanyakan keyakinan yang sudah mereka pahami. 

Dalam hal ini, keyakinan kelas sudah harus disepakati sedemikian rupa dengan bahasa yang positif dari hasil kesepakatan kelas dan diulangi dalam setiap pertemuan di kelas, seperti halnya "Meminta izin sebelum meminjam barang", "Berbicara yang baik", dan sebagainya.

Pada dasarnya, ketika murid melakukan pelanggaran disiplin, mereka memiliki salah satu dari kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang tidak terpenuhi. Adapun kebutuhan-kebutuhan dasar manusia adalah:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline