Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Skandal Sang Naga (Bab 6)

Diperbarui: 27 Januari 2023   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Empat hari kemudian, aku duduk di jendela kafe di seberang museum. Aku telah menyusun prosedur untuk mengawasi Ranya Vachel. Setelah mengikutinya dari jarak yang tidak mencolok di sekitar lima museum, aku memutuskan bahwa aku sudah cukup puas jika hanya melihatnya masuk ke museum dan kemudian meneguk dua atau tiga botol bir di kafe terdekat sampai dia keluar. Mungkin bukan prosedur yang pantas, tetapi metode yang lebih teliti tidak memberi hasil yang lebih baik.

Selain itu, aku menemukan bahwa membuntuti Nona Ranya hanyalah kata lain untuk 'bosan'. Daftar tempat yang dikunjunginya selain dari tempat-tempat bersejarah dan galeri seni adalah toko, bioskop, restoran---banyak. Tapi tidak satu pun yang berada dalam radius satu lima ratus meter dari Naga Cina.

Saat aku melihatnya keluar dari museum, aku meneguk habis bir bagai musafir yang kehausan di padang pasir. Sore ini aku harus berhasil membuat kontak dekat dengannya, apapun risikonya.

Pukul dua aku sudah berada di luar hotelnya, berbaur dengan orang banyak dan untuk tidak terlalu menonjolkan ketertarikanku pada pintu hotel, sesekali pura-pura memotret kapal pesiar yang mondar-mandir di sungai.

Dia baru muncul satu jam kemudian. Keluar dari hotel dengan buru-buru, menyeberang jalan, menuruni tangga di samping jembatan, dan menaiki kapal pesiar.

Ketika kapal sudah berlayar, aku turun ke dermaga dan memeriksa jadwal. Kapal itu akan kembali pada pukul empat. Aku punya satu jam untuk menunggunya yang kugunakan untuk minum bir di kafe terdekat.

Tepat pukul empat, saya berdiri di puncak tangga menuju dermaga. Saat kapalnya mendekat, aku menyalakan kamera video dan melihat melalui jendela intip. Gaun merah polosnya sangat kontras dengan kulitnya yang kuning cempaka.

Aku menjatuhkan kamera ke dadaku saat dia menaiki tangga. Baru setelah aku berkata, "Selamat siang," dia memperhatikanku. Bibirnya menganga, sebelum akhir meleleh menjadi senyuman manis.

"Oh, halo!" serunya, mengulurkan tangan bersarung sutra hitam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline