Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Sang Penulis

Diperbarui: 22 September 2022   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

istockphoto.com

Aku telah berusaha sebaik mungkin, mencoba membuat sesuatu yang akan bertahan sampai ada orang---seseorang---membacanya. Aku telah menunjukkannya kepada pengajar di akademi non akreditasi. Dia telah banyak membantuku, meskipun setiap kali aku harus mengingatkannya siapa aku.

"Oh, kamu," jawabnya, membuang muka. "Ya, aku ingat sekarang."

Pada awalnya, ketika aku menunjukkan apa yang kupunya kepadanya, kata-kata itu akan hilang dari halaman sebelum dia bisa membacanya, seolah-olah aku menulis dengan tinta yang bisa menghilang. Tetapi bersama-sama kami akhirnya berhasil menciptakan gaya yang---sebagian besar milik---tetap bertahan di halaman.

Dulu aku mencari nafkah dengan cara yang layak di sesuatu gedung, meskipun aku harus mengingatkan bosku untuk membayar karena namaku verkali-kali terlewatkan saat gajian. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Sekarang aku mencari nafkah dengan tampil di televisi. Kamu mungkin pernah melihatku sebelumnya, tetapi percuma aku memberi tahu kamu siapa namaku, karena kamu tidak akan mengingatnya. Tidak ada yang pernah mengingatnya, bahkan pembawa acara program televisi tempat aku tampil.

Satu-satunya kualitas fisikku yang luar biasa adalah bahwa aku biasa-biasa saja. Tinggiku rata-rata, dengan rambut cokelat dan mata cokelat. Kulitku pucat, meski tidak sepucat mayat. Mata, hidung, mulut, dan tulang pipiku semua ditempatkan di tempat yang seharusnya. Aku tidak tampan, tapi aku juga tidak jelek. Jika aku adalah hidangan, aku adalah bubur ayam kaki lima. Aku mengatakan ini tanpa kepahitan. Aku menerima ini sebagai porsiku dalam kehidupan.

Baru-baru ini, dalam perjalanan ke toko obat beberapa blok dari gedung apartemen, aku melihat seorang perempuan tua berambut putih berdiri di depan kotak surat di depan rumahnya. Saat aku sampai di depan rumahnya, dia melepas kacamatanya yang dilekatkan pada tali manik-manik dan menggantung di lehernya. Dia mengerucutkan bibirnya dan menempelkan tangannya yang keriput ke alisnya yang berkerut, kecewa.

Hal yang selalu terjadi.

"Maaf," kataku.

Dia menatapku dengan mata hijau pupusnya. Tangannya, masih di alisnya, gemetar.

"Kamu siapa?" dia bertanya dengan suara seperti pasir pantai mengikis batu karang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline