Lihat ke Halaman Asli

Aulia

Dosen Universitas Andalas

Tagar #JanganJadiDosen, Sebuah Realita Sedih dan Terpinggirkan

Diperbarui: 1 Maret 2024   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi KOMPAS/Heruyanto

Pengantar

Dua hari yang lalu, saya 'dicolek' oleh Pak Ketua Departemen Teknik Elektro Unand, "Baru-baru ini tagar #janganjadidosen sempat viral. Banyak alasan kenapa tagar ini ramai dibicarakan. Mungkin terlewat oleh Pak @Aulia membahasnya".

Saya langsung gerak cepat merespon sentilan Pak Ketua Departmen dengan menerbitkan tulisan berikut:

Selanjutnya saya akan membagikan tulisan berseri tentang perjuangan saya menjadi dosen dan catatan penting yang perlu diingat, memang menjadi dosen itu tidak mudah tetapi dianya sarat dengan pengalaman batin dan pergulaan intelektual.

Tentang Tagar #JanganJadiDosen

Di tengah gelombang digitalisasi dan globalisasi, profesi dosen di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin berat. Tagar #JanganJadiDosen yang baru-baru ini viral di media sosial bukan hanya sekadar tren, melainkan simbol dari keresahan mendalam yang dirasakan oleh para akademisi di negeri ini. 

Saya memandang, walaupun tagar ini ditujukan kepada dosen, tetapi sebenarnya ini ditujukan kepada seluruh aparat negara kecuali pegawai BUMN yang gaji jauh lebih besar dari gaji dosen. 

Rencana saya juga akan menulis terkait dengan gaji dosen dan gaji pegawai BUMN yang nota bene mereka adalah hasil didikan sang dosen, tetapi dihargai lebih tinggi oleh negara melalui BUMN.

Tagar #JanganJadiDosen mencerminkan realitas pahit tentang kesejahteraan dosen di Indonesia yang seringkali tidak sebanding dengan dedikasi dan kontribusi mereka terhadap pendidikan dan penelitian. Dengan gaji yang sering kali di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR), banyak dosen merasa bahwa pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran mereka tidak mendapatkan apresiasi yang layak.

Kontrasnya, pengalaman dosen Indonesia yang mengajar di luar negeri, seperti di Malaysia, Jepang, dan negara-negara maju lainnya, menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal penghargaan dan kompensasi. 

Di sana, dosen dihargai sebagai agen perubahan yang mampu menghasilkan sumber daya pendukung negara serta memberikan kontribusi penting di bidang sains dan teknologi.

Tagar #JanganJadiDosen bukan hanya sekadar ajakan untuk menghindari profesi ini, tetapi lebih kepada seruan untuk merefleksikan dan mereformasi sistem pendidikan tinggi di Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline