Lihat ke Halaman Asli

Aten Dhey

Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Adorasi Kerinduan

Diperbarui: 30 Juni 2020   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Aten Dhey

Ruang kudus itu sangat sepi. Hanya ada bangku-bangku kosong. Lilin paskah terus menyala. Dua lilin altar juga demikian. 

"Hidupkan saja lilin altar biar kita fokus ke Sakramen Mahakudus," ungkap Kano. 

Aku tak banyak bicara. Hatiku letih saat harus bergulat dengan maut. Setiap malam ruang kudus ini penuh dengan doa dan harapan. Mulai dari ekaristi, adorasi, brevir, hingga rosario. Aku sempat bingung mau berdoa dan mendoakan apa. Satu hal yang pasti bahwa aku selalu menyerahkan dunia yang saat ini sedang sakit. 

"Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, amin."

"Tuhan, betapa keringnya hidup ini," bisikku sembari mencium rosario kudus. 

"Terpujilah Engkau untuk selama-lamanya," Pater mengawali adorasi Mahakudus. 

Batinku seperti dibantai saat doa itu mulai didaraskan. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Berharap Tuhan yang hadir dalam Sakramen Mahakudus mendengarku.  Aku tertegun menatap rupa Tuhan yang tersamar di dalamnya. 

Aku jatuh dalam pergolakan batin yang sangat hebat. Tuhan tahu itu. Aku berharap semuanya cepat berlalu. Biarlah seonggok luka yang kurasakan mengering bersama putaran waktu. Mungkin saja luka ini menganga agar aku bisa bangkit. Perjuangan untuk sembuh lebih besar dari pada sebuah luka tanpa perjuangan. 

"Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, amin."

"Adorasi Ekaristi Mahakudus telah selesai."

"Syukur kepada Allah," terdengar suara umat Allah. 

Aku bangkit mendapatkan semangatku dalam doa dan dukungan mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline