Lihat ke Halaman Asli

Aswin

Setiap waktu adalah kata

Orang-Orang Kecil Kembali Dicungkil Kehidupannya

Diperbarui: 28 September 2021   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto: Viva/rakyat jelata)

"Lebih baik buta penglihatan dimata daripada buta hati". Demikian petuah para leluhur kita. Namanya petuah, (pastinya) menjelaskan validitas cerita dan pengalamannya. Ketika pengalaman itu diceritakan kepada orang yang belum mengalaminya, maka akan sulit diterima dan dicernanya.

Menurut Aristoteles, mata menunjukan kegemaran pada melihat lihat (meskipun tidak dihasratkan). Apalagi jika niat dan hasrat yang mendorong dan menyanggahnya, maka akan nelahirkan cerita yang berbeda-beda. Berbeda dengan Aristoteles, maka Rumi, menggunakan mata sebagai alat peneropong jiwa dan ruh didalamnya. 

Mata-penglihatan akan memberikan penjelasan sesuai dengan kemampuan si pemiliknya (manusia). Jika si pemiliknya, menyanggah kedua fiksasi bola matanya itu dengan akal sehat atau jiwa yang sehat, maka akan melahirkan suatu realitas atau peristiwa yang sehat pula, Identik.

LALAPAN POLITIK

Perjalanan yang kita lalui adalah bukan hanya perjalanan kuantitas, melainkan juga perjalanan kualitas didalamnya. Ketika kita melakukan perjalanan bukan hanya persoalan ukuran kilometer jarak jauhnya. Dan juga bukan hanya jumlah orang dan gedung gedung atau tempat tempat yang kita lalui dan singgahi. 

Akan tetapi juga nilai dan kualitas didalamnya. Katakanlah: Ketika melakukan perjalanan pagi ke pasar tradisional, maka dapat ditemukan kesibukan orang-orang melakukan jual-beli. Dan kebanyakan yang melakukan transaksi didalam pasar pasar itu, sebahagian besar adalah kaum menengah kebawah. 

Belum lagi kita melakukan perjalanan ketempat tempat wisata, kita akan menemukan orang orang kecil menjajakan dagangannya diluar. Dengan kata lain, banyak ruang ruang didalam kehidupan menyeruak orang orang miskin, orang orang marjinal, atau wong cilik.

Apalagi pola pembangunan negara kita yang cenderung berwawasan kapitalis dan oligarkis, telah membuat jumlah orang-orang miskin dan marjinal semakin bertambah. " Pemerintah membagi bagikan sertifikat tanah kepada rakyat. Namun dimana tanahnya, " demikian satir seorang pengamat Rocky Gerung. Persoalan tanah adalah persoalan klasik. 

Lahan tanah menjadi rebutan segelintir orang yang berselingkuh dengan kekuasaan. Siapa yang lebih dekat kekuasaan, maka kemungkinan besar akan mendapatkan lahan tanah yang lebih luas dinegara ini. 

Sementara rakyat miskin, yang tidak memiliki akses dengan kekuasaan hanya bisa pasrah menerima perlakuan penguasa, termasuk dibuang dan dimarjinalkan dari habitat kehidupan lingkungannya (tanah kelahirannya dan leluhurnya).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline