Lihat ke Halaman Asli

Asah Asih Asuh

Diperbarui: 22 Januari 2022   16:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mari kita cintai budaya Nusantara.

Belum lama ini terbaca di msn.com. Berita  "Kang Emil sapaan Ridwan Kamil, menilai pernyataan yang dilontarkan Arteria Dahlan telah melukai kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya kata dia, sejatinya orang Sunda itu memiliki sifat silih asih silih asah silih asuh".(Ridwan Kamil Minta Arteria Minta Maaf Karena Lukai Masyarakat Sunda (msn.com))

Seperti ramai diberitakan pula ada permintaan politikus PDIP, Arteria Dahlan, yang meminta seorang Kepala Kejaksaan Tinggi untuk dipecat oleh Jaksa Agung, lantaran menggunakan bahasa Sunda dalam suatu forum resmi. Permintaan itu menyinggung perasaan orang Sunda.

Ternyata penggunaan bahasa daerah di forum formal menjadi bahan untuk cermin beda pendapat. Budaya nilai Nusantara dalam praksis penggunaan sehari hari , ada, peribahasa, pemeo, semboyan, kata kebijaksanaan, semuanya sudah terolah dan digunakan seperti orang menggunakan bahasa itu sendiri. Orang bicara secara spontan mengikuti kontek pembicaraan; kadang pun dengan kata bahasa asing untuk lebih menjelaskan.. Bahwa bicara diforum formal harus menggunakan bahasa Indonesia, seperti tulisan ilmiah mengutip suatu frase harus menyebut sumbernya, itu memang bisa menjadi perdebatan.

Bagi saya yang penting bagaimana informasi tersampaikan dengan baik dan benar, tanpa melanggar kaidah dan hak sosial, sopan santun dan lainnya dari forum. Itulah intinya, dan banyak yang dapat dipertanyakan, diantaranya: hasil dan dampak bicara kita.

Tetapi berita diatas menarik dengan adanya sederet kata dalam bahasa Sunda: "silih asih, silin asah, silih asuh". Dan dalam kalimat Gubernur Jawa Barat itu digunakan sebagai motivasi untuk permaafan. Konteksnya menjadi meluas, dari penggunaan bahasa menjadi buah budaya-permaafan. Budaya itulah ekspresi dinamika kreatip manusia dalam struktur yang multidimensi.

Maka disini saya akan mulai saja berrenung diri satu kata mutiara, yang terucap oleh Gubernur Tanah Pasundan di Nusantara itu. Saya pertama kali mendengar kata itu dan secara serius memikirkannya dari bergabung dengan grup Kompasianer pecinta puisi dan fiksi bernama Desa Rangkat. Mungkin karena seorang ibu ketua dari Bandung yang sangat menjiwai pemeo itu, maka menjadi semboyan pertemanan Desa Rangkat dalam membina persudaraan Kompasianers ini. Singkat kata : Asah-Asih-Asuh.

Saya sendiri memahaminya sejak di "Desa Rangkat" itu sebagai demikian :

Asah, adalah pendekatan rasional pada warga sosial ada tukar pemahaman dimana ada penyampaian informasi sekilas sehingga tanpa tersinggung perasaan-beda yang menyakitkan.

Asih, perlu adanya pendekatan emosional, terhadap kebersamaan hidup, ada kerukunan saling penghargaan dan penghormatan dalam keberagaman, sehingga bisa terselenggara acara2 kebesamaan yang disepakatinya.

Asuh, yaitu adanya pendekatan pragmatis, dukungan dan perilaku positip sehingga secara keseluruhan saat itu dan selanjutnya ada keselarasan dan harmoni dalam tata hidup bersama yang aman dan nyaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline