Lihat ke Halaman Asli

Tanggap Ing Sasmito Para Pahlawan

Diperbarui: 4 April 2017   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

·“Mengapa Banyak Macam Pahlawan?”

·Menggali tradisi dan berbagi kearifan dapat menjadi kebiasaan yang indah dalam suatu media social, seperti Kompasiana kita.

·Sadar bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu bersifat universal maka sepantasnya tak ada pihak yang merasa lebih atau kurang berharga bila ternyata ada pihak yang lebih dahulu menyadari dan membudayakan satu nilai karena satu dan lain hal.

Tanggap ing Sasmito, berarti harafiah tanggap pada tanda-tanda, maksudnya: “Peka dan Menyikapi Tanda-tanda disekitarnya”. Di masyarakat Jawa biasanya sikap tanggap ini dinasehatkan untuk dipakai pada situasi pergaulan sehari hari. Disaat kita bertamu kapan harus minta diri bila tuan rumah telah (sadar atau tidak/sengaja atau tidak) memberi ungkapan bahwa keluarga sudah menjadi sulit bila tamunya belum pulang. Seorang kawan telah menunjukkan kurang senang karena gurauan, lelucon dan percakapan sembrono kita telah terlalu jauh, atau telah menyinggung perasaannya. Seorang majikan telah mengisyaratkan siap bermurah hati mau membantu kesulitan kita, dan kita perlu menyampaikan permohonan. Beberapa orang karena “satu dan lain hal” tidak berkata dengan terus terang. Satu dan lain hal itu dapat karena budaya tanggap ing sasmito. Diperhitungkan orang lain itu tentunya tahu sendiri dengan “tanggap ing sasmito” itu.

Sikap tanggap dan bermain isyarat menjadi kebiasaan dan watak “priyayi” yang disebut “mriyayeni” atau budaya kalangan terhormat dan berbudaya. Dibelakang itu sering menjadi perisai untuk tidak perlu menggunakan kata-kata (tegas/pedas) atau “blak-blakan”/ terbuka. Dikatakan tabu menunjukkan keterpaksaan, pengorbanan, minta jasa dan kepentingan bersama, apalagi kepentingan sendiri. Dilingkungan ini sebenarnya sering sulit kita bergaul…..Tetapi bisa juga sikap dan kebiasaan ini dicari makna yng lebih “indah”.

Sikap tanggap dan peka situasi sebenarnya mengandaikan seseorang itu mempunyai kelebihan. Letak kelebihan itu pada kemampuan ketajaman berwawasan dan bertoleransi. Orang peka dan tanggap dituntut memiliki lebih kearifan menghadapi situasi pada saatnya. Maka orang “tanggap ing sasmito” mestinya tidak akan bertindak serampangan, atau “Grusa grusu”, “dlonyak dlanyuk anglelingsemi” (susah diterjemahkan,) maksudnya bertindak kurang sopan dan memalukan.

Sikap tanggap ing sasmito adalah suatu sikap peka terhadap situasi, dinyatakan maupun tidak, tetapi situasi itu dapat ditangkap sebagai tanda. Tanda signalemen atau gelagat diterima dan memberi pesan untuk disikapi secara tepat waktu dan tepat sasaran. Maka orang seperti ini akan berpotensi untuk selalu actual, bermanfaat dan baru kemudian menjadi menarik dan inspiratif.

Ini sebuah bentuk kearifan. Kearifan ini dipesankan oleh nenek moyang melalui pituduh, petuah memakai tembang, atau apapun sarana komunikasi social keluarga dan masyarakat.

Dan inilah jawabanku mengapa begitu banyak macam kepahlawanan dan akan terus dikembangkan penilaian orang terhadap kehidupan orang masa lalu dan dianggap P A H L A W A N. Pemberi manfaat yang actual pada saatnya karena sikap cerdasnya terhadap situasi, konsekwen dan inspiratif menarik perhatian orang minimal dikemudian hari nantinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline