ARIA duduk di tepi ranjangnya, menatap langit-langit kamarnya. Hatinya begitu galau. Sepertinya ada lubang menganga dihatinya. Malam itu, ketika matanya terpejam, ia seperti berada di sebuah tempat yang asing. Seperti berada di sebuah padang yang luas, yang langitnya kelabu. Di sana, berdiri sosok yang mirip dirinya. Sorot matanya lebih hidup, lebih jernih.
Aria tertegun.
"Kamu siapa ?" tanyanya, penasaran
Sosok itu tersenyum getir.
"Aku adalah dirimu yang kamu abaikan. Belahan jiwamu yang engkau buang entah sejak kapan."
Aria menunduk. "Mengapa tanpamu, aku merasa kosong ?"
"Kosong, lantaran dirimu memilih hidup dengan angka-angka, janji palsu, dan topeng yang tak pernah engkau lepaskan. Engkau mengusirku saat dirimu berhenti mendengar tangisanmu sendiri."
Aria menelan ludahnya. Dadanya bergetar. Jantungnya berdetak cepat.
"Tapi aku butuh dirimu. Aku tak bisa terus melangkah dengan rongga kosong tanpa dirimu di hatiku."
Sosok itu menatapnya tajam. Tatapannya menembus dinding hatinya.
"Apakah dirimu benar-benar siap menerimaku ? Aku membawa luka-luka yang pernah engkau abaikan, mimpi yang kau kubur, serta keberanian yang kau takuti. Jika aku kembali, dirimu harus menanggung semua itu."
Aria menggenggam tangannya sendiri. "Lebih baik aku terluka, daripada merasa hampa, tak berguna. Pulanglah. Aku ingin belajar menanggung bebanmu, meskipun itu berat."