Lihat ke Halaman Asli

Asfira Zakia

Mahasiswi

Organisatoris atau Akademisi, Suatu Disekuilibrium Urgensi

Diperbarui: 24 Maret 2019   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

brilio.net

"Mengapa kuliah?" Suatu pertanyaan yang kerap muncul di benak masyarakat madani. Suatu pertanyaan yang sebagian besar mahasiswa Indonesia tidak paham akan sebuah tantangan, tidak menyadari akan sebuah pengorbanan, tidak mengenal makna usaha mati-matian, hanya karena ingin dianggap sebagai seorang ilmuwan atau hanya mengikuti dogma yang diwariskan bahkan hanya demi dieluh-eluhkan oleh berbagai kalangan.

Jawabannya ada di tangan kita, bukan di tangan orang lain. Di tangan kita lah yang menentukan masa depan bangsa. Kita adalah perubahan. Kita adalah nyawa dari pembaharuan. Oleh karenanya, Apakah kita sebagai mahasiswa harus berdemonstrasi di jalanan? Atau hanya berkecimpung dalam dunia literasi yang mengagungkan pemikiran? Apa yang terpenting?

Kini, mahasiswa dihadapkan pada suatu dilema yang kritis.  Seorang teman penulis pernah berkata, "Jangan jadi mahasiswa kutu buku! Kita itu mahasiswa. Masyarakat butuh peran kita, bukan teori kita. Lagipula untuk apa sih teorema-teorema matematika ini? Implementasinya di masyarakat itu apa? Lebih berguna kalau kita mengikuti berbagai organisasi kampus". Di sisi lain, seorang dosen pernah berkata, "Jangan ikut organisasi! Kalian itu niatnya kuliah bukan organisasi. Sekali kalian masuk, kalian akan terseret lebih jauh lagi. Saya menyadari setelah lulus S2 kalau organisasi itu tidak ada gunanya".

Erdusanggal.files.wordpress.com

Bukan di kalangan kampus saja yang menjadi fenomena ketakseimbangan antara kepentingan organisasi dan akademis. Sejak duduk di bangku SMP hingga saat ini menjadi mahasiswa, orang tua penulis tidak menyukai penulis untuk berkecimpung dalam dunia organisasi. Mereka memandang ketika seorang masuk dalam lingkup organisasi, kebanyakan dari mereka pasti akan melupakan kewajiban mereka dalam menuntut ilmu.

Oleh karenanya, penulis dituntut untuk terus mengejar nilai akademik dan hal itu telah menumbuhkan tradisi di kalangan masyarakat untuk mengukur intelegensi seseorang dengan nilai dan ranking. Akibatnya apa? Yang penulis rasakan saat ini salah satunya yaitu tidak adanya salah satu sayap pendidikan. 

Ada dua sayap pendidikan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan dan pengalaman. Penulis hanya tahu pengetahuan tanpa mementingkan pengalaman. Nah, dari hal itu bisa menumbuhkan resistansi egosentris yang menjamur di kalangan intelek muda saat ini.

Semua karena niat dan hati. Impian dan cita-cita haruslah tinggi. Ketika kita bercita-cita tinggi, maka realitanya 50% akan tetap tinggi, sedangkan cita-cita rendah akan lebih rendah lagi realitanya. Kuliah itu butuh niat yang kuat. Tapi terkadang ada pergeseran niat dari menuntut ilmu. 

Entah niat hanya ingin dikenal atau membuat kisah cinta yang mengharu biru menjadi sebuah kesalahpahaman yang menjadi prevalensi mahasiswa khususnya mahasiswa.

Kuliah itu adalah investasi masa depan. Sampai kapan pun, ilmu semakin diimplementasikan akan semakin bertambah. Sejatinya, kuliah itu tidak hanya teoritis, hanya saja cara mengaplikasikannya di lapangan. Sebagaimana seorang calon pendidik, ia tahu bagaimana cara ia berkomunikasi yang baik karena komunikasi dibutuhkan oleh semua orang.

Jadi, hiduplah seimbang, dimana cita-cita, kuliah, keluarga, teman itu sebagai prioritas. Hanya kita yang bisa mengubah hidup kita. Hanya kita yang bisa mempengaruhi kebahagiaan dan kesuksesan kita. Hidup kita berubah ketika kita berubah. Ketika kalian yakin pada diri kalian, ketika kalian lah yang bertanggung jawab atas diri kalian, buatlah diri kalian untuk menjadi versi terbaik dari kalian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline