Lihat ke Halaman Asli

Asep Imaduddin AR

Berminat pada sejarah

Pramoedya ist Ein Begriff

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_153391" align="alignleft" width="274" caption="sumber: zine.rukukineruku.com"][/caption] “Saya makin bingung dengan Indonesia ini. Takut dengan pengarang dan dipenjarakannya saya selama 14 tahun tanpa pengadilan.Padahal di belakang saya selain sepi sunyi tak ada deretan tentara, persenjataan canggih, atau pembunuh-pembunuh bayaran. Heran saya”. (Pramoedya Ananta Toer) Pramoedya Ananta Toer (alm). Ia terkait dengan beberapa hal berikut: pentolan LEKRA, pencetus realisme sosialis, kandidat kuat Nobel Prize for Literature dari Indonesia, mantan editor budaya Lentera, dan pengarang tetralogi Buru. Para pengagumnya biasa memanggil Pram. Salah satu pengagum Pram adalah aktris cantik asal Sukabumi: Happy Salma. Ketika Happy menjadi bintang tamu di salah satu acara talk show di sebuah televisi swasta, Happy dihadiahi seorang penggemarnya sebiji buku Pram yang sangat memikat yang berkisah tentang seorang gadis di tengah pusaran feodalisme Jawa yang memenjara: Gadis Pantai. Di acara lain, Happy pernah menunjukkan koleksi lengkap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya mengkoleksi, Happy juga aktif diskusi dengan komunitas penggemar fanatik Pram. Di Bandung, di sebuah toko buku alternatif terkenal, pernah terdapat Klub Baca Buku Pram yang khusus mengulas karya-karya Prameodya Ananta Toer. Bahkan seorang teman, seorang penulis muda dan aktivis ASAS UPI menggunakan nama pena Asep Pram untuk novel perdananya sebagai bukti penghormatannya pada seorang penulis prolifik, Pramoedya Ananta Toer. Itulah Pram, ia difanatiki seorang entertainer dan ribuan penggemar lainnya. Pram telah menyihir kaum muda melalui karya-karya sastranya. Ia menjadi idola bagi mereka yang gandrung bagaimana melawan dengan pena. Ia adalah idola sastra. Ia adalah hero sastra. Tak hanya di Indonesia, juga di luar Indonesia. Maka wajar jika seorang A. Teeuw secara ekspresif menyebut Pram sebagai “pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini”. Karir kepenulisan Pram telah dimulai sejak republik ini masih “bayi”. Dunia sastra dan tulis menulis dipilih Pram sebagai jalan hidup. Pilihan keras kepala ini memang penuh resiko, dan Pram pernah merasakan resiko memilih dunia ini. Rumah tangga pertamanya gagal dihantam ketidakpastian sumber penghidupan yang jelas. Menulis di sana sini tak serta merta membawa bahtera rumah tangganya ke tepian pantai yang tenang. Satu keputusan pahit diambil. Mereka bercerai. Dan Pram kemudian nekad menikah lagi walau tanpa membawa uang sepeser pun. Ia tak punya pilihan lain. Menulis sebagai profesi dan tanggung jawab dirinya terhadap kekuasaan yang menindas dilakoninya hampir sepanjang hayat. Ia tak menyesal, karena ia tak punya beban dan kepentingan. “Saya ini seorang individualis, menuruti kata hati. Berjuang sendirian sampai sekarang.” Katanya pada salah satu majalah ibu kota". Pram tengah menegaskan, sejatinya totalitas perlawanan adalah ketika tak ada kawan untuk berjalan seiring, ia tetap melawan. Rentang tahun 1950-1965 adalah masa-masa jaya Pram di panggung sastra. Tahun 1951 ia pernah menangguk penghargaan dari Balai Pustaka atas karya novelnya yang berjudul Perburuan. Tahun 1953 ia kembali meraih penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) atas antologi cerpen Cerita dari Blora. Pada rentangan tahun-tahun itulah Pram menjadi salah seorang penulis produktif pasca revolusi. Karya-karyanya pun berbau revolusi yang masih hangat. Perburuan, Keluarga Gerilya, Pertjikan Revolusi, dan Di Tepi Kali Bekasi adalah beberapa diantaranya. Wadah politik yang dipilihnya memungkinkan ia membawa sastra ke arah yang lebih progresif-revolusioner. Pidato Soekarno, “Siapa yang kontra revolusi akan dilanda revolusi” menambah hangat situasi politik kala itu. Lewat LEKRA dan lembaran budaya Lentera di koran Bintang Timur (1962-1965) ia memanggul aliran sastra yang beraliran realisme sosialis untuk menandingi humanisme universal-nya para pengusung manifesto kebudayaan yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964. Gagasan realisme sosialisnya mengikuti seorang stalinis bernama A.A Zhadanov. Angin politik kekuasaan yang menghampiri kepadanya membuat Pram terlalu terpukau dengan realisme sosialis yang diusungnya. Ia kecam siapapun yang enggan mendukung dinamika revolusioner. HB Jassin adalah salah satu “korbannya”. Ia-seperti ditulis Ahmad Sahal di Layar, TEMPO 10 Mei 1999-menganut sikap militan dari salah satu watak realisme sosialis yang dikutipnya dari Maxim Gorky: if the enemy does not surrender, he must be destroyed. Pram-bisa dikatakan-adalah novelis Indonesia legendaris yang namanya ‘hidup’ lagi dan dikenal di ujung senja. Padahal, telah lebih dari setengah abad hidupnya dihabiskan untuk dunia sastra dan tulis menulis. Aneh, tetapi jangan heran. Ada jeda waktu yang menghilang. Ia pernah mengalami depramisasi oleh orde yang mencapnya sebagai pengarang berbahaya. Bersamaan dengan limbungnya PKI, Pram tak luput dari implikasi pasca-meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah-malam jahanam itu. 13 Oktober 1965 adalah hari naas itu, yang selanjutnya, Pram ‘di-Buru-kan’. Dunia menulis yang digeluti Pram telah mengantarkannya sebagai aktivitas subversif. Aktivitas terlarang. Orde Baru-Ben Anderson menyebutnya Orde Bau-kemudian menetapkan bahwa karya-karya Pram “haram” diterbitkan dan dibaca. Barang siapa yang berani membacanya, bersiap-siaplah untuk diamankan. Begitulah kira-kira peringatan penguasa. Aneh, seorang penguasa yang memiliki segalanya: kuasa, senjata, dan tentara, malah takut dengan karya imajinasi seorang pengarang. Padahal, seorang pemgarang seperti dituturkan oleh Pram tak punya deretan senjata dan pembunuh-pembunuh bayaran untuk melindungi dirinya. Pengarang hanya “bersenjatakan” pena, kertas, mesin tik, dan komputer (sekarang). Seperti halnya penguasa Soviet yang takut akan Dr Zhivago-nya Boris Pasternak atau penguasa Ceko yang trauma atas karya-karya Milan Kundera. Begitulah Pram, ia “ditakuti” juga oleh penguasa Orde Baru. Pram mungkin hanya bisa tabah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya seorang pengarang. Kesendirian dan kesenyapannya memacu semangat untuk berkarya. Raga boleh dipenjara, tetapi pikiran tetap merdeka. Depramisasi berlangsung lebih dari seperempat abad sebelum akhirnya orba jatuh oleh terjangan dollar dan hantaman reformasi mahasiswa. Itulah Pram. Agaknya tepat sekali apa yang pernah diucapkan oleh Prof. Irene Hilgershesse pada sosiolog Ignas Kleden ketika belajar filsafat di Jerman, “Pramoedya ist ein Begriff”. Pramoedya bukan hanya nama, ia adalah sebuah pengertian, bahkan sebuah konsepsi. Tabik




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline