TIADA langit tak berawan, tiada tanah tak berbatu dan tiada laut yang tak berombak. Dus, tiada penulis yang tak miliki kekurangan. Itulah deskripsi kehidupan, pulalah fakta sosok penulis. Tertuang artikel ini 'berkat' sepenggal kisah seorang penulis kawakan di Kompas Cetak. Fiksinya di koran sejuta pembaca itu, memanglah asyik disimak, di-follow wejangan-wejangannya. Penulis yang tak bisa lagi dibilang muda itu, punya masa lalu yang tak bisa disebut baik, beliau melakukan tindak kriminal di sebuah kostan di Kota Depok. Mempreteli kabel telpon pemilik kostan, dan mencantolnya, 'diduakan' kabel itu hingga menyusup ke kamar kost yang ia tinggali. Bersenang-senanglah ia meng-interlokal ke berbagai tujuan. Pemilik kostan, tak menaruh curiga kenapa biaya layanan telpon naik, tak seperti biasanya sampai anak kost itu tinggalkan kostan.
en.wikipedia.org
Kisah itu diceritakan secara singkat oleh teman se-kostan penulis hebat itu. Itulah sejarah-masa lalu-sisi kehidupan di balik suksesnya seorang penulis. Kejadian silam, tetaplah menjadi seonggok catatan perjalanan kehidupan seseorang, termasuklah penulis seperti kita-kita ini. Apatah lagi saya, campur aduk perasaan saat tulisanku terhidang dan dibaca orang lain. Sesungguhnya, tulisan-tulisan sekarang amatlah bipolar dengan perilaku masa lalu(ku). Entah dalam hal attitude, ataukah over behavior.
Masa lalu, lagi-lagi tetaplah masa lalu, tiada yang bisa membelokkan sejarah itu. Dan, tiada perlu diratapi, disesali, ataupun dikucurkan air mata kesedihan. Yang tersisa hanyalah ruang-ruang untuk tiada mengulanginya (bertobat) dan siaga memformat diri dengan perilaku baru; perilaku baik-baik, berdaya dalam kebermanfaatan dan bertenaga dalam kemaslahatan dan berarus faedah.
Diintai
Di media Kompasiana ini, jangan pernah lupa bahwa perilaku kepenulisan kita, pun sedang diintai oleh pembaca/orang lain. Orang lain sedang menjadi juri atau wasit atas kelakuan kita; entah perilaku terpuji ataukah ternoda. Hak mereka melakukan evaluasi atas tindak-tanduk diri kita sebagai penulis, atas segala psikomotorik kita dan atas segala tuturan kita. Bisa jadi teknik bertutur kita menjadi refleksi perilaku kita yang sesungguh-sungguhnya, sekalipun menulis di blog, kita tak seutuhnya tampil sebagai penulis/manusia yang senyatanya dikarenakan performance kita hanya dapat diamati dari sisi foto profil, gaya menulis dan corak berkomentar.
Barangkali, ini hanyalah soal ringan, tak berat dan sepele. Bagi penulis 'serius', ini perkara serius pula. Entah siapapun itu orangnya. Pastinya, menulis di Kompasiana, pikiran kita telah terendus, melanglang ke berbagai penjuru mata dunia, mata pembaca dan juga 'mata-mata'. Berikutnya, sisa jadi puing-puing sejarah kita yang tak mengenakkan itu, disulap menjadi 'sesuatu' yang ternilai sebagai balasan atas kelamnya masa lalu itu. Dan, Kompasiana menjadi alamat yang tepat untuk memoles diri kita, berdandan dan bercermin demi sebuah perilaku yang simetris dengan artikel kita. Menuangkan artikel pencerahan bisa jadi asimetris dengan penilaian orang lain ataukah pembaca. Bisa jadi digelari sebagai penulis lebay, narsis, pamer kebaikan, julurkan etika, ataukah semacam akrobatik sikap-sikap positif. Tiada mengapa, itu juga sudah natural law, bahwa tiap-tiap umpanan kebaikan, tak mesti linear dengan apresiasi yang positif pula. Apatah lagi bila penulis tunjukkan kontra sosial, pembubuhan stempel egosentris, ataukah jual-beli kepiawaian dalam zona kepenulisan.
Idealnya
Bila ustad, rohaniawan dan segala rupa dunia reliji, mestilah 'profesi' ini sejalan dengan aksi-aksi baiknya, ciutan-ciutan berguna, dan perilaku baik lainnya. Nampaknya, seseorang yang memilih 'pekerjaan' ini, sepaket dengan konsekuensinya. Rangkaian profesi lain, layaknya guru, dosen, dokter, profesor, ilmuwan, dan lain, pun wajib siaga dengan perangkat-perangkat perilaku anutan, menjadi model bagi yang lain. Hingga kata-kata satire serupa: "Guru kok begitu kelakuannya". Hakikatnya apa? Masyarakat sudah 'terlanjur' berharap tinggi akan tingkah-laku yang baik dan berpijak pada kemulian profesi. Lalu menurut Anda, apakah profesi menulis berbeda dengan profesi lainnya? Sepakat ataukah tak setuju, Kompasianer Makassar ini, memiliki persepsi kuat bahwa memilih menjadi penulis, itu adalah pekerjaan mulia. Lalu, apakah berlebihan bila saya -selama menulis di Kompasiana, empat tahun, 8 maret 2015 ultahku- memunggungi sikap-sikap buruk? Mengapa? Karena saya 'terlanjur' memilih pekerjaan sebagai penulis. Dan penulis itu adalah job agung, punya status sosial berkelas. Jangan remehkan penulis, dunia sanggup berubah, budaya mampu digeser lebih baik lantaran terinspirasikan dari tulisan-tulisan para penulis.
Lagi........Diamati
Penulis dan tulisannya, telah dan sedang diamati oleh sesama, ibarat tampil dalam sebuah acara, kita sedang ditonton orang lain dengan beragam sudut. Terlebih lagi, 'Mata Tuhan" sedang tertuju kepada kita (penulis), malaikat 'Atid dan Raqib pun sedang awas, bahkan the satanic sedang nyureng-nimbrung kalau-kalau ada penulis yang menjadi bidikannya untuk dirayu-rayu untuk kemudian dihempaskannya. Dan bahasa paling mematikan dari sang iblis laknatullah bila ia sukses medeklarasikan ucapan terlampau memuji seperti ini: "Wahai sobat, engkaulah penulis paling hebat di Kompasiana ini!". Sungguh dahsyat meeeeeeen! hahaha