Lihat ke Halaman Asli

Abahna Gibran

Penulis dan Pembaca

Surat dari Seorang TKW untuk Suaminya

Diperbarui: 24 September 2018   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: womantalk.com)

Suamiku, sengaja aku menulis surat ini untukmu. Karena kali ini aku ingin bicara banyak kepadamu. Tidak seperti selama dua tahun ini. Kita biasa bicara langsung lewat sambungan telepon. Sebab kalau bicara lewat telepon, selain akan memakan waktu yang cukup panjang dengan biaya pulsa yang sangat besar, juga aku merasa tidak akan mampu mengungkapkan semuanya sebagaimana yang aku tulis saat ini.

Suamiku, bila kau sedang membaca surat ini, bisa jadi aku sudah tidak lagi berada di tempatku selama ini bekerja. Tetapi jawaban kenapa aku tidak lagi bekerja di tempat itu, sebaiknya kujelaskan di ahir suratku ini saja. Karena aku merasa ada yang lebih penting lagi dari hal itu, yang tentunya begitu mendesak untuk diungkapkan kepadamu.

Aku pun tidak akan menanyakan keadaanmu, juga anak-anak kita, sebagaimana biasanya. Karena aku selama ini selalu mendapat kabar yang sama. Kalian di kampung selalu baik-baik saja. Tidak pernah mendengar kabar yang akan membuatku khawatir, apalagi merasa sedih.

Meskipun begitu, aku tetap saja tak yakin dengan yang kalian sampaikan, baik dalam pembicaraan di telpon, juga yang kau tulis lewat pesan pendek. Karena meskipun memang di antara kita dipisahkan oleh jarak puluhan ribu kilometer, namun kepekaan sebagai seorang perempuan masih tetap aku punya. Dan aku tahu pasti jika sesungguhnya kabar sehat selalu, dan baik-baik saja itu hanyalah untuk menyenangkan hatiku saja. Agar aku tetap tenang, dan sepertinya jangan sampai aku terganggu selama bekerja.

Ngomong-ngomong masalah kepekaan naluri dan perasaan, sesungguhnyalah sulit untuk ditutupi oleh apa pun juga. Seperti saat malam terahir menjelang keberangkatanku ke Arab Saudi, kata-katamu yang kau bisikkan di telingaku seraya memeluk tubuhku, meskipun saat kubantah, kau langsung menyela, bahwa yang kau katakan itu sekedar kelakar untuk mengisi keheningan malam, tapi nuraniku tak dapat didustai.

Sungguh. "Menurut syariat agama, bahwa selama enam bulan berturut-turu tidak mendapat nafkah, dan artinya sudah mendapat dua 'idah, maka seorang istri sudah berhak mendapat talak," bisikmu ketika itu, dalam hatiku yang paling dalam mengamininya. Terlepas nafkah itu hanyalah sebatas nafkah batin belaka. Bukankah selama kita berumah tangga pun, dirimu sebagai seorang suami belum pernah memberikan nafkah untuk kebutuhan keluarga.

Sewaktu kita masih bersama, saban hari akulah yang harus banting-tulang. Sejak bangun tidur, aku sudah sibuk di dapur. Mempersiapkan sarapan untuk keluarga. Lalu pergi ke pancuran, mencuci pakaian dan perabotan bekas kemarin. Setelah selesai mengerjakan tugas sebagai ibu rumah tangga, tergesa aku menuju sawah, atau ladang milik orang yang mengupahku untuk menyiangi rerumputan liar misalnya, atau menanam benih kalau sedang musim tanam. Pokoknya semua pekerjaan petani ku lakoni, demi anak-anak dan suami.

Sementara dirimu saban hari, masih tetap saja dengan segala yang hanya demi kesenangan dirimu sendiri belaka. Kalau tidak mengurus ayam-ayam aduanmu itu seharian, dirimu pergi mencari kalangan, untuk mengadu peruntungan, dan demi kesenangan. Tapi meskipun begitu, aku tetap bisa bersabar, dan tetap berharap jika suatu saat nanti dirimu akan sadar akan beban dan tanggung jawab sebagai suami dan ayah dari anak-anak kita.

Sebagai suami, harus kuakui memang dirimu adalah pejantan tangguh. Dan yang paling aku kagumi dari perilakumu, selama sepuluh tahun kita berumah tangga belum sekalipun ketahuan berbuat selingkuh. Bisa jadi selingkuhanmu yang sering membuatku jengkel dan uring-uringan hanayalah ayam-ayam adumu itu yang lebih banyak menyita perhatiamu daripada istrimu sendiri.

Kepergianku ke Arab Saudi, tujuannya semata-mata untuk merubah nasib keluarga. Lain tidak. Berulang kali aku katakan sebelum kepergianku. Aku begitu mengkhawatirkan masa depan anak-anak kita. Dan aku berharap jangan sampai bernasib seperti kita. Sebagaimana kata Pak Ketua RT, keluarga kita masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan.

Untuk kebutuhan sehari-hari saja aku harus memeras tenaga dan mengucurkan keringat dari setiap pori-pori. Andaikan saja selama dua tahun aku bekerja di Arab Saudi, selain akan bisa mengumpulkan modal usaha, juga akan bisa merenovasi rumah tempat tinggal kita yang selama ini disebut orang sebagai rumah tidak layak huni.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline