Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

"Mawakeun" Tradisi Saling Berkirim Makanan yang Tinggal Kenangan

Diperbarui: 18 Mei 2020   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi berkirim makanan di bulan Ramadhan (sumber: jcs.com)

Apabila bulan Ramadhan sudah memasuki tanggal lilikuran (B. Sunda, yang maksudnya sebutan lain untuk perhitungan mulai dari tanggal 21 sampai 29), selain disibukkan dengan mempersiapkan segala yang dibutuhkan di hari raya, ibu-ibu pun akan  memiliki kesibukan lain yang tak kalah melelahkannya, yaitu membuat masakan siap saji untuk dikirim kepada sanak-saudara.

Lazimnya dari anak kepada orang tua, baik orang tua kandung maupun mertua. Begitupun dari saudara yang muda kepada saudara yang lebih tua, tepatnya dari adik kepada kakak.  Tak dilupakan kepada tetangga sekitar dikirim pula.

Adapun makanan yang dikirim adalah nasi beserta lauk-pauknya berupa daging, baik daging sapi atawa ayam maupun ikan, ditambah sambal goreng kentang, dan berbagai jenis sayuran lainnya.

Sehingga untuk itu, ibu-ibu harus berbelanja terlebih dahulu ke pasar. Sedangkan daging ayam tinggal memotongnya saja dua-lima ekor yang diambil dari kandang. 

Begitu juga dengan ikan air tawar,  biasanya diambil dari kolam dengan cara dikeringkan terlebih dahulu kolamnya. Dan di kampung kami, kegiatan itu disebut ngabedahkeun. Selain untuk kebutuhan sendiri, biasanya dijual juga kepada warga yang kebetulan tidak memiliki kolam ikan sendiri. 

Biasanya karena banyak sanak-saudara yang akan dikirim, sudah tentu untuk mengirimnya pun membutuhkan bantuan banyak orang juga. Bahkan tak jarang melibatkan anak-anak usia sepuluh tahunan.

Adapun makanan yang akan dikirim biasanya dikemas di dalam rantang susun (sebagaimana ilustrasi di atas). Bagi anak-anak usia sepuluhan yahun pun sudah akan mampu untuk dibawanya. Terlebih lagi oleh anak laki-laki. Dengan cara dipikul dengan menggunakan sepotong kayu yang panjangnya satu meteran, sudah mampu bisa membawa dua rantang susun.

Sebagaimana yang pernah saya alami sendiri dahulu kala. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Apabila disuruh ibu untuk mengirim makanan kepada kakek, atawa Uwa(Kakaknya Ayah atawa Ibu), saya selalu siap-sedia. Sebabnya tiada lain karena selain akan diberi makanan serupa, kakek atawa uwa pun tak pernah lupa memberi saya hadiah uang. Mungkin kalau sekarang sama dengan yang dinamakan angpao

Mawakeun juga tidak hanya berlaku bagi keluarga yang sudah berumah tangga saja. Bagi gadis-gadis yang sudah punya kabogoh (pacar), dan sudah dicangcang (terikat oleh pertunangan), maka kegiatan tersebut tak pernah dilewatkan. Gadis-gadis itu akan mawakeun kepada calon mitoha (mertua). Kemudian apabila pulangnya akan diantar oleh pisalakieunana (calon suaminya). Tak lupa pula ia pun akan mendapat hadiah selain uang, biasanya akan dibelikan pakaian baru oleh calon mertuanya, mupun dari tunangannya.

Hanya saja memasuki tahun 80-an, tradisi mawakeun sudah jarang dilakukan lagi. Paling hanya oleh satu - dua orang saja yang mungkin masih memegang tali paranti (tradisi) warisan nenek-moyangnya. Dan kebanyakan warga di kampung kami cenderung lebih memilih mengirim mentahannya saja. Dalam bentuk transfer uang ke rekening, atawa dikirim langsung kepada yang bersangkutan.

Sehingga bagi generasi milenial, tradisi mawakeun pun  bisa jadi hanyalah merupakan cerita nostalgia yang didengarnya dari kakek-nenek, atawa orangtuanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline