Lihat ke Halaman Asli

Ariyani Na

TERVERIFIKASI

ibu rumah tangga

Katanya Krisis, Tapi kok Penuh?

Diperbarui: 14 September 2015   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul diatas merupakan kalimat spontan yang diucapkan suami saya saat susah mencari parkir di salah satu mall di Tangerang Selatan pada akhir pekan ini. Penuhnya tempat parkir juga terjadi hampir di semua mall, baik di Jakarta ataupun Tangerang (mungkin juga terjadi di kota-kota besar lainnya). Melihat kondisi ini, mungkin kalimat yang diucapkan suami saya juga menjadi pertanyaan sebagian besar masyarakat kota, apakah benar kita sedang mengalami krisis ekonomi, hanya karena menurunnya nilai tukar rupiah terhadap USD?

Karena usaha kami bergerak dibidang retail, maka kami mengetahui secara pasti bahwa ada penurunan daya beli masyarakat, yang ditandai dengan penurunan omset. Sepinya pembeli belakangan ini juga dikeluhkan oleh para pedagang lain, baik di pasar ataupun di pertokoan. Lalu, mengapa mall tetap dipenuhi oleh pengunjung?

Hal ini pernah saya diskusikan dengan salah seorang teman yang memiliki usaha di salah satu mall terkenal di Jakarta, teman saya mengatakan bahwa saat ini kebanyakan pengunjung hanya jalan-jalan dan melihat-lihat. Tempat yang ramai dikunjungi adalah tempat yang menjual makanan, seperti food court, restoran cepat saji, café dan tempat lain yang sejenis. Bukan hanya di mall, beberapa kali melintasi kawasan pasar lama Tangerang, karena jalan yang biasa kami lewati sedang ada perbaikan, saya melihat kondisi yang sama seperti yang ada di mall, tempat parkir penuh serta beberapa café atau tempat makan benar-benar dipadati pengunjung dan sebagian besar anak-anak muda.

Sebelum merosotnya nilai tukar rupiah, kondisi penuhnya tempat makan juga sudah lama terjadi, sehingga  dengan demikian kita dapat melihat bahwa tidak ada perubahan gaya hidup masyarakat kota akibat dari merosotnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap USD.

Lalu apakah merosotnya nilai tukar rupiah tidak berdampak? Tentu saja sangat berdampak, terutama pada kemampuan daya beli masyarakat golongan menengah ke bawah, dengan penghasilan tetap, golongan ini harus menyesuaikan diri dengan kenaikan harga barang, akibatnya harus pintar-pintar mengantur keuangan dengan cara menunda membeli keperluan yang dianggap tidak mendesak atau dengan menurunkan standar pemenuhan kebutuhan pokok, misal mengganti lauk yang semula daging menjadi telur atau tempe/tahu.

Bagaimana dengan Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi?

Banyak kalangan menilai bahwa sejak diumumkan hingga saat ini, kebijakan tersebut belum dapat terlihat hasilnya, karena penilaian keberhasilan paket kebijakan tersebut sepertinya diukur dengan menguat atau tidaknya nilai tukar rupiah terhadap USD.

Semalam saya membaca secara lengkap paket kebijakan tersebut di web resmi menkoperekonomian ekon.go.id, dan saya melihat bahwa paket tersebut memang tidak akan secara langsung dapat berdampak pada menguatnya nilai tukar rupiah, karena pasar dan pelaku usaha pasti menunggu implementasi dari kebijakan yang cenderung lebih banyak pada perubahan peraturan menteri, baik dalam bentuk deregulasi, debitokratisasi maupun kebijakan-kebijakan lainnya.

Yang menarik untuk dicermati dari kebijakan tersebut adalah point ketiga yaitu melindungi masyarakat berpendapatan rendah, dan menggerakan ekonomi pedesaan dengan cara :

  1. Stabilisasi harga pangan
  2. Percepatan Dana Desa
  3. Penambahan Raskin.

Dengan melihat situasi dan kondisi yang saya ceritakan diawal, maka langkah ketiga dalam paket kebijakan tersebut adalah hal tepat yang diambil pemerintah dan harus segera direalisasikan. Bila realisasi dari kebijakan tersebut lambat maka dikahwatirkan akan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan masyarakat mengingat semakin tingginya harga kebutuhan pokok akibat masih banyaknya barang-barang kebutuhan pokok yang bahan dasarnya mengandalkan impor.

Hal lain yang menarik lain adalah mengenai dana desa. Menurut mantan asisten rumah tangga saya, saat ini, karena sekolah lanjutan sudah mulai masuk ke desa-desa, banyak dari anak-anak desa yang biasanya selepas SD datang ke kota untuk menjadi asisten rumah tangga, memutuskan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dengan harapan, ketika mereka lulus dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada sekedar menjadi asisten rumah tangga. Melihat situasi ini, maka di desa perlu di bangun industri kecil atau UKM yang sekiranya dapat menyerap tenaga kerja sendiri sehingga tidak perlu lagi datang ke kota untuk mencari pekerjaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline