Dua lembar seprai dan empat helai selimut sudah terlipat rapi. Lalu bantal-bantal kecil yang sebelumnya dijemur di pagar halaman, ku bawa masuk dan kembalikan ke posisi semula. Aku pun melepaskan nafas lega, sudah tiga kamar selesai dirapikan dan hanya menyisakan satu kamar kecil yang lama tak berpenghuni.
Saat beranjak ke kamar berikutnya, suara pesawat televisi (TV) di ruang bersama menarik perhatianku. Seperti biasanya anak-anak penghuni panti lupa mematikannya.Tanganku memungut remote di lantai dan segera menekan tombol switch off. Tetapi sekali, dua kali tombol ditekan, tak juga pesawat TV itu mati. Barangkali batreainya sudah habis.
"Lia?" Gumamku dalam hati manakala di layar kaca TV tabung jadul tampak sosok yang cukup ku kenal.
Seorang gadis remaja berhijab menjadi bintang tamu sebuah acara talkshow yang ditayangkan rutin setiap Jumat pagi di stasiun TV nasional. Berbaju kurung warna peach membuatnya tampak anggun dan ekslusif. Namun pandangannya terkesan misterius, menatap lurus satu arah dan kedua bola matanya diam tak bergerak. Aku pun segera duduk di lantai lalu memusatkan perhatian pada tayangan.
"Lia, boleh cerita sedikit bagaimana dulu bisa sampai masuk panti" tanya pembawa acara.
"Paling Lia ingat, beberapa petugas Dinas Sosial dan Tante Polwan mengantar Lia ke panti," jawabnya dengan jelas.
"Memangnya kepolisian dan dinas tidak bisa menemukan rumah orangtua atau kerabat Lia?" Tanya presenter lagi.
"Pastinya sih waktu itu mereka sudah bekerja keras. Tapi saat itu Lia sungguh tak tahu alamat, lokasi rumah, juga siapa saja tetangga Lia. Bahkan ketika Papa dan Mama meninggal karena kecelakaan, Lia tak pernah tahu dimana mereka dimakamkan. Semuanya gelap Om, segelap pandangan Lia..."
Sepertinya gadis remaja itu hendak melanjutkan perkataannya, namun air mata yang mengalir di pipi, memutus niat bicaranya. Sang presenter pun menanti-nanti pernyataan berikutnya.
Sementara di depan televisi aku sudah tahu jawabannya. Lia, lengkapnya Rohalia, masuk ke panti asuhan milik Papi ketika usianya masih 12 tahun. Dia ditemukan terlunta-lunta di pinggiran ruas jalan tol Cikampek, berjalan meraba sendirian, kelaparan dan terus menangis ketakutan.
Terlahir tunanetra membuatnya sulit mengenali siapa saja orang yang menelantarkannya di jalanan, begitu juga soal lokasi dan tempat asalnya. Hanya kasih sayang dan perlakuan memanjakan dari papa dan mama kepada dirinya yang melekat di ingatannya. Hanya mereka yang memberi perlindungan dan kenyaman di rumah, mengilustrasikan segala benda dan sesuatu dalam bentuk kata-kata, serta menyekolahkan Lia di sekolah inklusi terbaik di Ibu Kota.