Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Indonesia Bukan Bahasa 4l4y

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

“Guru baru di sini ya, man?”

Man?”, tanyaku dalam hati.

“Iya, saya baru pindah dari Bogor ke Surabaya.”, jawabku. “Boleh kenalan sama adik-adik kan?”

Yoi, man! Gue Adinda, trus mereka semua temen-temen gue. Hmm… Nanti kenalan sendiri-sendiri aja lah ya sambil jalan.”

Begitulah pengalamanku di hari pertama mengajar sebagai guru les privat di salah satu SMP unggulan di Surabaya. Dan yang membuatku benar-benar kaget adalah karena mereka juga berbahasa seperti itu dengan para guru dan pegawai di sekolah. Kebetulan aku melihatnya karena les privat diadakan di sekolah. Hmm… Sebenarnya sejak kuliah aku terbiasa dengan bahasa gue-lo dan sebagainya, bahkan bahasa-bahasa 4l4y para galau-ers. Tapi sepengetahuanku, gaya bahasa 4l4y teman-teman di kampus memang murni karena gaya-gayaan, atau becanda, ‘nggak pake bahasa gitu nggak papa lah’. Mereka mengerti kapan bisa berbahasa gaul dan kapan harus berbahasa sesuai EYD. Tapi sepertinya bagi anak-anak SMP itu, bahasa 4l4y adalah sebuah kewajiban, tidak peduli bicara dengan siapapun . Miris.

Aku sendiri sebenarnya menganggap bahasa memiliki beberapa rupa. Rupa pertama, bahasa adalah sarana komunikasi, sehingga apapun bahasa yang digunakan, se-gaul apapun kata yang dipilih tidak masalah selama pihak-pihak yang berkomunikasi memahami maksud satu sama lain. Rupa kedua, bahasa adalah sarana apresiasi, sehingga diksi yang digunakan dalam berbahasa perlu menyesuaikan dengan karakter serta latar belakang orang lain yang diajak berkomunikasi. Bahasa dalam rupa inilah yang membuatku menangkap keganjilan ketika seorang murid berbicara kepada gurunya dengan bahasa gaul. Bahasa dalam rupa ini pula yang mengandung banyak unsur edukasi, tentang sopan-santun, tentang saling menghormati, dan sebagainya. Rupa ketiga, bahasa sebagai alat pemersatu bangsa dan simbol nasionalisme. Dalam hal ini tentu saja yang berperan adalah bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

Aku ingat ada suatu waktu ketika bangsa kita mengalami krisis bahasa nasional. Saat itu dipertanyakan ke mana perginya nilai-nilai Sumpah Pemuda? Anak-anak muda saat itu senang dan bangga sekali jika bisa berbicara dengan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Apalagi para artis di televisi tampak semakin senang memamerkan kefasihan mereka berbahasa Inggris. Sah-sah saja memang. Saya pun tidak menganggap itu salah, bahkan bisa menjadi sarana belajar. Menguasai banyak bahasa kan bagus? Apalagi jika suatu saat kita berkesempatan mewakili Indonesia di ajang internasional, bahasa internasional menjadi mutlak diperlukan. Sayangnya, memang tidak tepat rasanya jika bahasa digunakan untuk pamer gengsi ataupun digunakan untuk memunjukkan status sosial tertentu. Lucu bukan kalau ada yang berpikir bahwa dengan jago berbahasa Inggris maka status sosialnya akan tampak lebih elit, atau dengan bisa berbahasa 4l4y, maka dirinya sudah menjadi anak gaul?

Ah, bagiku bahasa Indonesia terdengar lebih indah. Selalu indah, dan gaul tentunya. Sejak SD aku paling suka pelajaran bahasa Indonesia, terutama mengarang. Aku juga suka sekali sastra. Cerpen, novel, puisi, dan buku-buku antologi sastra adalah favoritku. Hingga saat ini pun aku terus berusaha mencari buku Tetralogi Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer, khusus cetakan lama. Sejak SD sampai kuliah, nilai bahasa Indonesiaku selalu paling tinggi di kelas, begitu pula dengan sastra. Bahkan sejak SD hingga SMA, nilai bahasa Indonesiaku selalu paling tinggi di sekolah.

Tapi itu tidak berarti apa-apa kan sebelum nilai-nilai bahasa Indonesia dapat diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari? Karena itulah aku berusaha tetap berbahasa Indonesia dengan baik, meskipun santai dan tidak kaku, tetapi juga tidak seenaknya. Apalagi untuk bahasa lisan dan tulisan popular, tidak harus berurutan S-P-O, tapi dengan mudah dapat dimengerti dan bahasanya mengalir runut. Bahkan saat lomba ke luar negeri pun, aku senang sekali jika memiliki kesempatan untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada orang-orang asing yang aku temui di sana. Memperkenalkan bahasa memang tidak semudah memperkenalkan beberapa contoh budaya dan kesenian kita yang bisa ditampilkan di atas panggung, upaya ini butuh kesabaran dan kemampuan komunikasi yang baik supaya lawan bicara mengerti.

Orang-orang asing itu pun ternyata menyukai bahasa Indonesia. Mereka pikir bahasa Indonesia cukup sulit dipelajari, dan karena itulah bahasa Indonesia memiliki daya tarik yang besar. Sebagian besar dari mereka juga menyatakan bahasa Indonesia terdengar indah, terutama ucapan, “terima kasih”. Nah kalau mereka saja bisa tertarik dan senang dengan bahasa Indonesia, mengapa kita tidak?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline