Lihat ke Halaman Asli

Arip Senjaya

Dosen, pengarang, peneliti

Fiksi Murni

Diperbarui: 3 Juni 2022   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berhenti berkata-kata, berhenti seperti saat jari-jariku berhenti mengetik, dan menatap dunia di seberang jendela: cakrawala abu, angin menggerakan daun-daun, suara hujan bergemuruh pada atap seng, hujan turun dalam irama angin, dan aku pun menyadari bahwa semua yang kusaksikan dan semua yang aku dengar berada di seberang jendela bahasa, bukan di seberang jendela kamar kerjaku.

Jika aku benar-benar menutup bahasa---si jendela dunia itu---aku tidak dapat melihat dan mendengar apa pun, tapi aku tak mungkin sanggup melakukannya. Bahkan dalam tidur aku masih saja berhutang pada bahasa, dalam mati nanti pun aku masih harus berbahasa. Bahasa tak pernah mati dan memanggul realitasku saat aku hidup.

Kalau aku yakin dunia hanya mungkin karena dimungkinkan bahasa maka aku harus yakin bahwa tidak hanya satu suaraku tentang dunia yang sama. Hari ini kukatakan "hujan", besok kukatakan "kelam",  besoknya kukatakan "air mata", besoknya lagi mungkin kukatakan "cinta". Dan apa saja bisa kukatakan dari rujukan yang sama.

Pada intinya, aku akan terus mengolah kata-kata dan akhirnya meninggalkan apa yang aku rujuk: hujan di luar sana telah berpindah menjadi aneka dunia di dalam kamar kerja bahasaku sendiri, bukan di luar jendela kamar kerjaku lagi.

Aku percaya itu seperti dalam kasusku terasing dari benda-benda fisika sebelum kupelajari fisika. Dunia kemudian adalah dunia yang dikatakan fisika. Tanpa harus kukenali benda-benda itu di depan mata, bahasa rupanya cukup untuk menciptakan kebenaran. Dan aku tidak pernah dapat pastikan apakah aku benar atau salah dalam menjelaskan dunia. Tapi bertahun sudah aku hidup di atas fisika dan bukan di atas dunia yang dirujuknya.

Aku benar-benar ingin memasuki realitas dan kini rasanya semakin sulit. Realitas seperti meminta syarat mutlak: ia harus dibersihkan dari kontaminasi bahasa. Kalau tidak, aku selamanya akan tergelincir, melangkah dalam gelap, atau kembali ke yang mengkontaminasinya lagi: bahasa-bahasa lagi!

Ini seakan berkaitan dengan keadilan. Kita dengan bahasa dapat mengotori realitas tapi realitas tidak dapat mengotori bahasa karena realitas itu bersih dan tetap begitu. Maka, jangan katakan realitas itu residu bahasa! Jangan! Yang benar, bahasa meresidukan dirinya sendiri dengan keyakinan dan kebenaran yang tidak dapat dibenarkan realitas; melulu dibenarkan bahasa.

Ini seperti cinta bertepuk sebelah tangan, bukan? Kita yakin kita benar tapi yang kita yakini bahkan tidak mengangguk sama sekali. Kita menipu diri sendiri.

Kita mungkin bisa memberikan akses masuk bagi realitas ke arah bahasa kita dan dialah yang mengontaminasi bahasa kita dengan kebenaran dan kepalsuan versi dirinya. Tapi bagaimana caranya?  Bahasa kita adalah tumpukan zat-zat yang sulit dibersihkan lagi hingga realitas enggan menembusnya dan kita tidak tahu kata apa yang masih murni. Rome dan Juliet pun menambahkan racun ke dalam kata "cinta", hal yang mungkin saja pada mulanya murni (sebab aku yakin cinta yang sebenarnya tidak ter-kata-kan).

Mungkinkah jiwa-jiwa tercemar diizinkan memasuki kemurnian? Surga itulah kemurnian pada mulanya! Lalu kita mencemari diri dengan kata "cinta" dan dunia adalah tempat mencuci bahasa yang berlumur dosa, tak kita tidak akan berhasil.

Dunia adalah tempat kita mencampuradukkan beragam dosa, bahkan dosa-dosa yang kita tidak tahu maknanya seperti puisi-puisi indah yang kita tidak tahu tentang apa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline