Lihat ke Halaman Asli

Ari J. Palawi

Petani Seni dan Akademisi

Rhapsodia di Ujung Barat

Diperbarui: 4 Oktober 2025   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prelude — Nada yang Hilang dari Serambi

Di sebuah tanah di ujung barat, laut dan gunung saling menatap dalam diam.
Angin asin membawa aroma kelapa, debur ombak berpadu dengan kokok ayam jantan di pagi hari.
Di sanalah seorang anak tumbuh, dengan telinga yang lebih dahulu dewasa daripada tubuhnya.
Ia sering duduk di serambi rumah panggung, memandangi ayahnya memetik senar tua pada alat musik yang tak lagi lengkap nadanya.

Suara itu lirih, seperti doa yang belum selesai.
Dan ketika ayahnya meninggal, bunyi itu berhenti — namun gema yang tersisa berputar lama di kepala anak itu, menjadi suara yang memanggil: carilah aku di antara segala bunyi dunia.

Sejak itu, hidupnya seperti komposisi yang belum ditulis seluruhnya.
Ia ingin menemukan nada yang hilang itu — entah melalui musik, buku, atau kehidupan itu sendiri.

Allegro — Ketika Bunyi Menjadi Bahasa Dunia

Anak itu tumbuh di tengah dunia Melayu yang sibuk bernyanyi bahkan ketika sedang berduka.
Ada ritme di setiap gerak tangan penenun, ada melodi di setiap langkah petani, dan ada harmoni dalam sapaan para tetangga di sore hari.
Dari semua itu, ia belajar bahwa bunyi adalah cermin manusia.

Ia belum tahu istilah etnomusikologi, tapi sejak kecil ia sudah menjalani intinya: mendengar manusia melalui bunyi yang mereka hasilkan.
Setiap suara adalah pengetahuan; setiap nada, pengalaman kolektif.
Mimpi, bagi seorang anak, bukan cita-cita besar, melainkan rasa kagum terhadap bunyi yang belum bisa ia pahami.

Namun rasa kagum itulah yang menjadi awal kesadaran:
bahwa hidup memiliki irama, dan setiap manusia menempuhnya dengan tempo yang berbeda.

Andante — Masa Ketika Dunia Terlalu Ramai

Saat tubuhnya tumbuh, dunia menjadi jauh lebih bising daripada bunyi masa kecilnya.
Sekolah, kota, dan media berlomba menjejalkan ritme cepat—ritme yang menuntut hasil tanpa proses, suara tanpa makna.
Banyak anak seusianya terperangkap dalam kebisingan: ingin dikenal, ingin kaya, ingin diakui.

Namun ia menemukan sesuatu yang lain—kebisuan yang memberi ruang untuk berpikir.
Bahwa diam adalah bagian dari musik, sama pentingnya dengan bunyi.

Ia mulai membaca banyak hal: sastra, filsafat, teori musik, bahkan politik.
Ia mengenali istilah kontrapung —  seni menempatkan dua melodi berbeda agar saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
Dari sana ia memahami hidup: bahwa keindahan justru lahir dari perbedaan yang bersahutan, bukan keseragaman yang memaksa.

Adagio — Ketika Mimpi Harus Bernegosiasi dengan Kenyataan

Takdir membawanya jauh dari tanah kelahiran.
Ia menempuh pendidikan di kota pelajar, memasuki dunia yang mempertemukannya dengan harmoni, notasi, dan teori musik Barat.
Ia belajar bahwa bunyi bisa ditulis, diukur, dan diatur.
Namun di balik keteraturan itu, ada sesuatu yang tetap tak terjelaskan: rasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline