Lihat ke Halaman Asli

Ari J. Palawi

Petani Seni dan Akademisi

Kotak Media di Kota Pesta: Musim ke -1 (Bagian I)

Diperbarui: 9 Oktober 2025   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prosesi tarian Pho (Aceh). Dokumentasi program "Muslim Women Voice" di Wesleyan University, 2014.

Sinopsis “Kotak Media di Kota Pesta”

Di sebuah kota yang hiruk-pikuk, sekelompok mahasiswa seni menemukan kotak kayu misterius yang mampu merekam, menyimpan, dan menggabungkan suara dari berbagai tempat dan waktu. Awalnya mereka memandangnya sebagai alat eksperimen kreatif, merekam bunyi gondang Medan, pasar pagi, hingga ritual Phô Aceh yang dicatat dalam arsip etnomusikolog.

Namun, di balik semua itu, kotak juga menyimpan gumaman misterius yang tak pernah mereka rekam sendiri. Gumaman ini muncul di pesta rakyat, festival virtual, mural jalanan, bahkan di arsip kota yang berusia puluhan tahun.

Perjalanan mereka membawa kotak melintasi ruang publik, arsip sejarah, dan komunitas lokal yang akhirnya mengungkap identitas gumaman tersebut: gaseuh, suara pemanggil yang sakral dan dimiliki secara komunal oleh sebuah komunitas nelayan. Menyadari beban etisnya, tim harus bernegosiasi untuk menjaga rahasia ini sambil tetap menuntaskan proyek akhir mereka.

Proyek tersebut menjadi pertunjukan di alun-alun kota, memadukan suara masa lalu dan masa kini, tanpa melanggar batas yang telah disepakati. Namun, di tengah pertunjukan, kotak memilih untuk mengeluarkan gaseuh dengan caranya sendiri—lembut, personal, dan penuh makna—seolah memberi tanda bahwa kota telah siap mendengar kembali suaranya yang lama hilang.

Kisah ini adalah perjalanan seni, etnografi, dan etika, di mana kota menjadi panggung, warganya menjadi aktor, dan kotak menjadi sutradara yang diam-diam mengatur pertemuan antara ingatan dan masa kini.

Episode 1

Pertemuan Pertama: Kotak yang Tidak Pernah Sepi

Hujan sore di Medan punya caranya sendiri menyambut semester baru. Butirannya menimpa atap seng kantin belakang kampus seperti tabuhan ritmis yang tak pernah lelah. Percikannya memantul di aspal hitam yang masih menyimpan panas siang, menciptakan aroma khas: campuran tanah basah, minyak goreng bekas sate, dan sedikit asap knalpot becak motor yang parkir di depan gerbang.

Di ruang kelas Pascasarjana Seni, suasana tenang tapi tidak benar-benar hening. Teungku Ari berdiri di dekat jendela, sorban tipis di kepalanya miring sedikit ke kiri. Dari sudut itu, ia bisa melihat pohon trembesi besar di halaman bergoyang pelan, rantingnya seperti sedang berbisik pada angin. Ia tidak terburu-buru memulai kuliah. Di kelas ini, pertemuan pertama bukan tentang silabus atau daftar hadir. Ini tentang menyiapkan telinga, mata, dan kepala untuk semester yang akan penuh kejutan.

Pintu berderit, dan Raka masuk sambil melepaskan jas hujan yang basah kuyup. "Hujan dari Simpang Pos sampai sini, Teungku," katanya sambil tersenyum.

"Bagus, berarti kamu bawa sisa-sisa kota ke sini," jawab Teungku Ari.

Tak lama, Cik Mei muncul dengan kamera DSLR yang dipeluk erat seperti bayi. "Kalau kehujanan, kamera ini bisa masuk angin," candanya. Di belakangnya, Bang Ucok menyeret langkah dengan ransel besar yang menggembung. "Kalau hujan terus, kuliahnya pindah ke warung kopi aja, biar hangat," katanya sambil menaruh tas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline