Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Jejak Digital

Diperbarui: 4 Februari 2020   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Zaman digital. Era ketika semua telah terkoneksi dengan internet. Tak sekadar terkoneksi tetapi juga sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Semua menjadi serba cepat dan terbuka. Ya, hampir semua bidang kehidupan telah terhubung dengan internet. Dengan media digital. Proses pembelajaran, administrasi pemerintahan, dan yang paling dekat dengan kita semua, tentu saja sosial media.

Kalau mungkin di Indonesia administrasi pemerintahan masih setengah setengah dalam memanfaatkan teknologi digital. Disini beda lagi. Semua serba cepat. Serba transparan. Dan tentu saja tindakan-tindakan manipulatif menjadi lebih susah untuk dilakukan. Terbukti dari tiadanya kabar berita tentang pegawai dari kelas dan golongan apapun yang terlibat hukum dengan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Aku harus menyelesaikan pendidikan di negeri orang. Tidak boleh pulang sampai waktu yang telah ditentukan. Yang berat bukanlah mengukuti dan menyelesaikan pembelajaran. Yang berat adalah menahan rindu terhadap segala yang ada di kampung halaman.

Dan bertemulah aku dengannya. Mahasiswi asal Indonesia yang kebetulan mengambil studi yang sama. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding bertemu orang dengan satu bahasa ibu di negeri orang. Rasa senasib sepenanggungan yang pada akhirnya membuat kami dekat dan semakin dekat. Membuat kami mengalami perkembangan dan kemajuan dalam pembelajaran.

Cinta lokasi, atau mungkin lebih tepatnya bukti bahwa cinta ada karena terbiasa. "witing tresno jalaran saka kulino", orang jawa bilang. Kami saling mencintai. Kami berdua sama-sama tahu meskipun tak pernah saling mengutarakan rasa.

Dan seperti orang-orang lain yang jatuh cinta, kami tetap berkomunikasi setiap waktu. Chatting dan telepon tak pernah absen setiap malam meskipun telah bertemu sepanjang siang. Dan galery handphone pun penuh dengan foto kemesraan kita berdua baik di dunia pendidikan ataupun destinasi-destinasi wisata. 

Ada yang kurang ketika ke luar negeri hanya digunakan untuk studi. Tempat-tempat wisata kami eksplorasi. Orang bilang hanya bersenang-senang yang kami lakukan. Aktualisasi diri, kata kami dengan lantang.

Penuhnya kemesraan di galery tidak sebanding dengan yang diekspos lewat sosial media. Hampir tak ada kemesraan yang terihat dari sebuah foto yang kami posting di sosial media masing-masing. Kemesraan dan rasa nyaman memang cukup untuk dinikmati, bukan dipamerkan untuk eksistensi.

Lagian, bukankah ada anggapan bahwa semakin memamerkan kemesraan di media sosial sebenarnya mencerminkan kalau hubungannya tidak bahagia?

Dua tahun yang terasa singkat. Kami telah menyelesaikan studi. Dan artinya kami harus kembali. Kembali ke daerah kami masing-masing. Kembali ke pasangan kami masing-masing.

Dia mengundangku ke pernihakannya. Dia menikah dengan seorang pria yang sudah bertunangan dengannya sejak sebelum memulai studi di luar negeri. Akupun datang ke pernikahannya dengan pasanganku. Seorang perempuan yang telah aku lamar juga sejak aku belum menginjakkan kaki di luar negeri untuk studi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline