Lihat ke Halaman Asli

Arif L Hakim

TERVERIFIKASI

digital media dan manusia

Berita Panggilan Papua Untuk Nusantara

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Shock! Benar-benar kaget. Itulah perasaanku saat ditelpon Om Hazmi, salah seorang penulis buku best seller yang juga menjadi punggawa Indosat. Sejujurnya saya belum kenal betul siapakah dia gerangan, karena perkenalan dengan beliau terjadi di dunia maya saja. Waktu itu saya mempublikasikan tulisan berjudul “Sinyal Itu Mahal, Jendral!”, yang bercerita tentang kegelisahanku —dan yang lebih utama kegelisahan warga Kepulauan Karas— karena jangkauan yang cukup jauh dengan pusat Kabupaten Fakfak dan ketiadaan sarana transportasi laut secara reguler ditambah kenihilan sarana komunikasi. Bayangkan, hanya untuk mengurus selembar kertas saja, atau ingin memberikan informasi kepada aparat, atau memberitakan kedatangan kapal untuk menjual barang, warga harus mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta (hanya untuk BBM perahu) dan menyeberang laut lebih dari 200 km. Dari tulisan itu Om Hazmi kemudian bergerak cepat, tulisan sederhanaku di-forward ke dewan direksi Indosat. Dan saat aku kembali ke kota untuk berkoordinasi dengan teman-teman dan mengirim laporan, saat aku mengecek, Om Hazmi ternyata menanggapi dengan serius perihal kebutuhan warga. Pintu mulai terlihat. Ada jalan terang untuk membuka gembok menuju lembah kesejahteraan masyarakat. Kembali Om Hazmi kuhubungi dan beliau memberikan angin super sejuk. “Semoga Allah melancarkan urusan kita mas. Dari tempatku, aku sudah nembusin ke 3 direksi Indosat termasuk Dirutnya. Sampai saat ini tanggapannya masih positif. Semoga ke depan juga terus positif sampai BTS tersurvey, terbangun, dan lainnya. Amiin”, begitu sms yang masuk dari beliau 5 Oktober 2011 lalu. Langkah brilian Om Hazmi kemudian terbukti, sebuah nomor berkepala 0816.... berdering di handphone-ku. Setelah berkenalan, kuketahui namanya Pak Wahyu, Sales Area Manager – Indosat Sorong. Tanpa basa-basi, Pace (istilah untuk menyebut “bapak” dalam bahasa papua) Wahyu bilang, akan menindaklanjuti permohonan masyarakat untuk menyelesaikan masalah komunikasi di Kepulauan Karas. Aku bercerita apa adanya, dari data yang diserahkan Kepala Distrik Karas kepadaku, potensi Karas luar biasa. Jika sekarang proses seismik perusahaan minyak raksasa yang ada di kepulauanku lancar, sebentar lagi akan berproduksi, tinggal tunggu waktu mereka akan publish keberadaan mereka. Kemudian pabrik kertas tinggal menunggu keluarnya ijin untuk beroperasi, dan sudah pasti menyerap ribuan tenaga kerja. Kemudian sesuai dengan program bupati Fakfak untuk memacu sisi pariwisata, boleh dikata alam Karas adalah penggalan surga, sedang dirumuskan strategi promosi yang akan membawa masuk wisatawan dari bermacam belahan dunia ke sini, di distrik terluas di Fakfak, Papua Barat. Aku juga bercerita tentang usahaku mencari barang bernama signal. Aku pernah naik-turun bukit saat keliling pulau, tidak juga ketemu signal. Menyeberang ke pusat distrik apakah di sana bisa mengucap “halo”, yang kutemui adalah satu-satunya warung telepon satelit di distrik kepulauan ini dengan tarif Rp 5.000,- per menit —(baru-baru ini wartel sedang rusak, jadi semua informasi disampaikan dengan menyeberang laut). Dan yang lebih tidak masuk akal, aku pernah membawa antena saat memancing, menebak-nebak siapa tahu signal lebih kuat di laut, sekalipun hasilnya nihil. Padahal dalam hati sudah persiapan, ini kalau ketemu signal, aku mau memuat tulisan berjudul “Melempar mata kail, mendapat signal”, jadi tulisan itu langsung kutandai “gagal”. [caption id="" align="alignnone" width="519" caption="Area belakang pulau, spot memancing warga yang kucoba untuk mencari sinyal "][/caption] Saat ditanya, “Lalu bagaimana cara tercepat menghubungi pak guru?”. Aku juga menuturkan kenyataan, “Bisa kirim radiogram, kemudian akan disiarkan di RRI”. Dorang (mereka) malah heran dan bertanya, “Masih ada cara begitu di Indonesia?”. Ya, memang seperti itu saudara-saudara kita di rentetan kepulauan Papua. Setiap pagi dan sore telinga harus stand by di dekat radio barangkali ada pengumuman, panggilan, radiogram, pesan keluarga, bahkan berita duka. Aku juga menjelaskan bahwa masalah pembebasan lahan tidak usah dipikirkan, Kepala Distrik dan Kepala Kampung sendiri sudah berujar di hadapan rakyatnya, siap memberikan lokasi pembangunan BTS itu free, tanpa dipungut biaya. Bahkan Pak Distrik sendiri yang tanpa basa-basi memintaku melakukan lobi agar sarana telekomunikasi cepat masuk, saat beliau harus marathon 4 kampung di 3 pulau hanya untuk memberitahu kalau beliau akan ke kota. Bapak-bapak, dan teman-teman yang saya hormati. Kami di Papua sedang meluruskan tekad dan memantapkan niat, untuk terus berjuang memangkas tali panjang ketertinggalan. Kami tanpa lelah, sambil menyeka keringat, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai kata “sejahtera”. Kami tahu, lokasi kami yang begitu jauh dari pusat peradaban mungkin telah menjadi catatan Tuhan sebelum kami dilahirkan. Tapi kami mau berubah dan bergerak, mewujudkan kesederhanaan hidup ini berbuah pemerataan pembangunan, peningkatan SDM, dan berharap besar bahwa impian kami bisa berkomunikasi tanpa harus mempertaruhkan nyawa di Laut Arafura akan mendapat jawaban indah dari pihak-pihak yang masih punya ikatan kuat bernama nusantara. [caption id="" align="alignnone" width="506" caption="Bapak tua (pak dhe) angkatku mulai memfungsikan handphone sebagaimana mestinya saat memasuki Pulau Tugu Seram-200 km/3,5 jam dari pulauku."][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline