Lihat ke Halaman Asli

ARIF KURNIAWAN

Universitas Jember

Uji Formil Syarat Usia Capres dan Cawapres- Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023

Diperbarui: 9 Mei 2024   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Selama berdirinya Mahkamah Konstitusi lembaga negara ini memiliki empat (4) kewenangan dan satu (1) kewajiban yang telah dirumuskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi baru menjalankan tiga kewenangan yaitu kewenangan menguji UU terhadap UUD, kewenangan menyelesaikan sengketa kewenangan lembaha negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD dan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang menarik perhatian publik di tahun 2023 ini yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Dalam hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan pada 16 Oktober 2023 yaitu putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat minimal capres dan cawapres dengan batas usia 40 tahun atau pernah/ sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Tetapi setelah dianalisis lebih dalam, bahwa putusan tersebut tidak memenuhi syarat formil yang diperlukan dalam proses hukum. Alasan tidak memenuhi syarat formil karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 17 ayat (5) “ Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara” dan ayat (6) “ Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pada dasarnya syarat formil dalam proses hukum berarti bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada aturan yang jelas dan konsisten. Dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi tidak memberikan penjelasan yang jelas dan konsisten mengenai bagaimana mereka tiba pada syarat minimal usia 40 tahun. Mereka hanya mengutip Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tanpa menjelaskan bagaimana mereka memahami dan menerapkan pasal tersebut. Dimana bunyi pasal Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: 2. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun." Sehingga pada Pasal 169 huruf q dimana putusan tersebut diputuskanoleh Anwar Usman yaitu paman dari cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak dari Joko Widodo yang pada saat ini masih menjabat sebagai kepala negara.
Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah dinyatakan secara jelas mengenai setiap hakim termasuk juga hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari mengadili sebuah perkara yang berkaitan keluarganya, apabila hakim tidak mengudurkan diri maka putusan yang dihasilkan dianggap tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil. Hal ini terlihat jelas terjalin adanya hubungan antara keduanya, Anwar Usman yang menikahi adik presiden Joko Widodo yaitu Ibu Idayati. Pada putusan 90/PUU-XXI/2023 telah terbukti didasari oleh Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri menjadi wakil presiden Republik Indonesia tahun 2024 yaitu keponakan dari Anwar Usman. Seharusnya pada perkara seperti ini Anwar Usman harus mengundurkan diri dalam menangani perkara ini. Apabila Anwar Usman menangani perkara ini hasil putusan yang dikeluarkan seharusnya tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil (batal demi hukum). Selain itu juga Anwar Usman telah melanggar Ketetapan Kode Etik Hakim Konstitusi diatur pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 29 ayat (1) huruf e berbunyi: “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”.
Maka dari itu, kesadaran ini sangat penting sekali dalam proses hukum, karena suatu keputusan yang tidak jelas dan konsisten dapat menghasilkan sebuah keputusan yang tidak stabil dan tidak dapat dipertahankan. Dalam hal ini, opini ini menyatakan bahwa perkara putusan 90/PUU-XXI/2023 ini tidak memenuhi syarat formil diperlukan dalam proses hukum. Hal ini juga didukung oleh beberapa pendapat para ahli yaitu Prof Denny Indrayana dan Dr. Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah mengajukan pengujian formil terhadap Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang berisi syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Didukung dengan pendapat mereka bahwa konsep hukum yang terlalu positivistik tidak mampu mewujudkan keadilan substantif dan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak memberikan penjelasan yang jelas dan konsisten mengenai bagaimana mereka tiba pada syarat minimal usia 40 tahun.
Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi tidak memberikan alasan yang jelas. Jika dibandingkan dengan perkara yang sebelumnya, seperti perkara Nomor 001/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 MK telah memutus perkara terkait pengujian undang-undang. Padaa perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 MK tidak jelas dan konsisten mengenai perubahan syarat minimal usia 40 tahun. Selain itu putusan ini juga diputus tidak dengan bulat, karena ada dissenting opinion dan concurring opinion antar hakim, pertimbangan yang dikeluarkan juga tidak lazim terjadi dalam sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi. Persoalan mengenai batas umur ini seharusnya menjadi legal policy Undang-Undang dan Mahkamah Konstitusi tidak ke dalam ranah pembentukan undang-undang. Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak boleh memutus perkara ini karena MK sendiri merupakan lembaga negative legislator. Oleh karena itu, menurut opini penulis putusan ini terdapat adanya kepentingan dari salah satu hakim konstitusi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline