Lihat ke Halaman Asli

Gula Bertahan Meski Pandemi Mengancam

Diperbarui: 30 Juni 2021   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Produk gula merah/ dokpri

Tidak terasa pandemi sudah 1 tahun lebih dan tak kunjung berlalu. Semenjak adanya pandemi ini, selain berdampak pada kesehatan masyarakat juga berdampak pada usaha masyarakat. Dampak adanya pandemi ini banyak dirasakan oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Kerena adanya pandemi ini banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mengalami kerugian, bahkan tidak jarang dari mereka yang memilih untuk gulung tikar karena sulit mendapatkan konsumen. 

Namun, pandemi ini tidak berdampak terhadap home industry gula merah milik pasutri di Pacitan Jawa Timur. Surti (40) dan Suaminya Katwadi (42), mereka merupakan salah satu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah produksi gula merah. Pasutri ini tinggal di Desa Ketro, Kecamatan Kebonagung, Pacitan Jawa Timur.

Usaha ini sudah mereka tekuni kurang lebih selama 18 tahun. Awal mula mereka memilih untuk memulai usaha produksi gula merah berawal dari melihat pohon kelapa yang berada disekitar rumahnya cukup banyak dan hanya dijual kelapanya saja, akhirnya mereka juga memanfaatkan nira kelapa sebagai bahan utama gula merah.

"Usaha ini saya rintis bersama suami saya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, melihat pohon kelapa yang cukup banyak disekitar rumah membuat saya bersama suami saya berfikir untuk membuka usaha gula merah". Ucap Surti

Proses pembuatan gula merah/ dokpri

Dalam pembuatan gula merah, pasutri ini membagi tugas, Katwadi (42) bertugas mengambil air nira dari pohon kelapa dan istrinya Surti (40) bertugas membuat dan memesarkan gula merah yang mereka produksi.

Terkadang Katwadi juga mengantikan istrinya membuat gula, karena selain membuat gula di rumah, Surti juga bekerja sampingan sebagai buruh pembuat tempe milik tetangganya. 

Hampir setiap pagi Surti bangun jam 3 pagi untuk menyiapkan sarapan dan dilanjut pergi kerumah tetangganya untuk membuat tempe juga memasarkannya setiap satu minggu sekali.

"Pembuatan gula di pagi hari sering dilakukan oleh suami saya karena setelah membuat sarapan untuk keluarga, saya harus membuat tempe di rumah tetangga saya. Meskipun upah yang tak seberapa tapi lumayan untuk menambah penghasilan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga saya". Tutur Surti

Mereka membuat gula merah masih menggunakan cara tradisional, yaitu menggunakan bambu (bumbung) untuk mengambil nira kelapa dan dimasak menggunakan kayu bakar.Setiap harinya Katwadi mampu mengumpulkan sekitar 10-15 bumbung air nira. Bambu (bumbung) yang mereka gunakan untuk mengambil air nira harus rutin dibersikan karena jika tidak akan berpegaruh terhadap kualitas gula yang dihasilkan.

Setelah air nira diambil dari pohon kelapa selanjutnya air nira tersebut dimasak menggunakan tungku dari kayu bakar selama enam jam bahkan lebih. Air nira yang sudah dimasak sampai mengental lalu dicetak menggunakan mangkok atau tempurung kelapa dan tunggu hingga mengeras. Mereka tetap menggunakan cara tradisional untuk membuat gula merah dengan tujuan mempertahankan rasa khas dari gula merah tersebut.

"Untuk mempertahankan kualitas gula, biasanya saya rutin membersihkan bambu (bumbung) 3 hari sekali. Saya membersihkannya menggunakan air panas. Jika bumbung yang saya gunakan  tidak dibersihkan biasanya gula yang dihasilkan kualitasnya kurang baik". Ucap Katwadi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline