Lihat ke Halaman Asli

Jannatun Naim [Percikan Surga di Dunia]

Diperbarui: 4 Januari 2016   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pengaosan rutin bapak kyai Tanjung di BBS TV"][/caption]Bismillahirrohmanirrohiim .....

Pernahkan anda teringat cerita Isra’ Mi’raj yang sering diceritakan oleh guru kita di sekolah atau orangtua kita ? Ada bagian cerita yang meceritakan bahwa Malaikat Jibril memberi tiga gelas dengan isinya yang berbeda. Gelas pertama berisi Madu, gelas kedua berisi Khamr, dan yang ketiga berisi susu. Nabi muhammad memilih susu. Malaikat Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan umat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm (1-18).

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (١) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (٢) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (٥) ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (٦) وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى (٧) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (٨) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (٩) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (١٠) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى    (١١) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (١٢) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (١٧) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (١٨

“Demi bintang ketika terbenam (1), Kawanmu ( Muhammad ) tidak sesat dan tidak ( pula ) keliru (2), Dan tidaklah yang diucapkannya itu ( Al-Ilmu=Ilmu para Nabi para Rasul yang menunjukkan tentang hakekat fitrah jati diri manusianya ) menurut keinginannya (3), Tidak lain ( Al-Ilmu itu ) adalah wahyu yang diwahyukan ( kepadanya ) (4),  Yang diajarkan kepadanya oleh ( Jibril ) yang sangat kuat (5), Yang mempunyai keteguhan; maka ( Jibril itu ) menampakkan diri dengan rupa yang asli ( rupa yang bagus dan perkasa ) (6),  Sehingga dia berada di ufuk yang tinggi (7), Kemudian dia mendekat ( pada Muhammad ), lalu bertambah dekat (8), Sehingga jaraknya       ( sekitar ) dua busur panah atau lebih dekat ( lagi )(9),  Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya ( Muhammad ) apa yang telah diwahyukan Allah (10), Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (11), Maka apakah kamu ( musyrikin Mekah ) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu ?(12), Dan sungguh, dia ( Muhammad ) telah melihatnya ( dalam rupanya yang asli ) pada waktu yang lain (13), ( yaitu ) di Sidratil Muntaha (14), Di dekatnya ada surga tempat tinggal (15), ( Muhammad melihat Jibril ) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (16), Penglihatannya ( Muhammad ) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak ( pula ) melampauinya (17), Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda ( kebesaran ) Tuhannya yang paling besar (18).”

Dalam sebuah wacana umum ayat tersebut diturunkan oleh Allah dengan hujjah Nabi Muhammad SAWW mengalami proses Isra Mi’raj. Menurut para ulama ayat tersebut adalah buktii bahwa Nabi Muhammad pernah melakukan perjalanan mulia Isra’ Mi’raj. Tapi hakekatnya ayat tersebut sangat sepele jika Allah menurunkan ayat tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa Rasulullah SAWW pernah melakukan perjalanan dari Masjidil Haram hingga Masjdil Aqsha hanya dalam semalam saja. Pasti ada yang tersirat di balik yang tersurat, apalagi itu “al-ayah”.

Menurut penjelasan Guru saya ketika pengaosan mujadahan Perjalanan Isra’ Mi’raj adalah tidak sekedar untuk menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling disegani oleh para Nabi lainnya dan pernah bertemu dan berhadap-hadapan dengan Tuhannya langung. Isra’ Mi’raj merupakan proses pergantian kiblat yang semula dari ‘Jibril’ berpindah pada diri Rasulullah SAWW. Nabi Muhammad ditugasi membawa risalah kenabian ( berhubungan dengan Dzat Tuhan) dan menjadi saksi atas apa yang dilakukan muridnya di bumi ini.

Isra’ Mi’raj adalah penggambaran proses panggulawentahan yang luar biasa yang dialami Nabi dengan mengalami gejolak batin yang sangat mengiris hati. Allah memutus tali kecintaan terhadap istrinya Siti Khodijah yang sangat kaya raya dan dermawan yang siap melayani Nabi Muhammad kapanpun dan dimanapun, tali kekuasaan dari pamannya Abu Tholib yang saat itu menjadi tokoh dan tidak ada yang berani menentang Abu Tholib, dan tali harta benda karena kaum Quraisy memboikot ekonomi habis-habisan Nabi Muhammad selama 2 tahun. Nabii Muhammad dan sahabat setia beliau mengganjal perut dengan batu untuk menahan rasa lapar. Inii adalah penggambaran Isra’ Mi’raj yang selama ini hanya dianggap kisah petualangan atau legenda saja.

وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

“Sungguh Berdzikir (Mengingat-ingati Dzat Al-Ghaibullah) adalah sesuatu yang teramat besar”

Berdzikir adalah momen atau saat ketika seorang hamba disatukan oleh Tuhan dengan DiriNya, ketika itu pula seorang hamba dapat melihat hakekat surga dalam dirinya sendiri yang sangat nikmat dan nyaman. Di dalam hati terdapat baabal rohmah, titik temu antara hamba-Nya dan Tuhannya. Bertemunya kedua dzat inilah yang disebut anugerah dan cicilan kenikmatan surga di dunia. Allah SWT akan melapangkan dada bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada dzikir dan selalu mengingati Diri-Nya kapanpun dan dimanapun.

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (berlaku) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-An’am 125).

Kembali ke cerita Isra’ Mi’raj Rasulullah SAWW, ketika Nabi Muhammad disuguhkan tiga gelas tersebut Nabi memilih gelas yang berisi susu. Makna aslinya adalah Nabi Muhammad totalitas memilih jalan hidup dan niat hidupnya semata-mata untuk hijrah kepada Allah dan utusan-Nya. Susu itu melambangkan fitrah jati diri manusia yang asal fitrahnya dari fitrahNya Allah piyambak. Jika begitu maka dapatlah ia merasakan Jannatul Na’im dalam dadanya (Jagad Saghir).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline