Lihat ke Halaman Asli

Ardy Milik

akrabi ruang dan waktu

Petaka Awal Tahun

Diperbarui: 24 Februari 2020   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: tempo.co

Petaka banjir melanda Ibu kota negara dan sekitarnya pada awal tahun 2020. Air meluap memenuhi jalan, memasuki rumah rumah penduduk dan menghanyutkan harta benda dan hewan peliharaan. Banjir meminta tebusan nyawa 67 orang di wilayah Jabodetabek, mengharuskan 139 ribu orang mengungsi, dengan ketinggian air maksimal 6 meter, 39 ribu keluarga untuk sementara harus berpindah rumah. Konsekuensi kerugian ditaksir mencapai 10 triliun rupiah (Koran Tempo: Januari 2020).

Statistik kerugian akibat banjir memunculkan beberapa pertanyaan kunci. Bagaimana sistem migasi dan adaptasi bencana di Ibukota Negara? Bagaimana mungkin pusat negara yang harusnya menjadi barometer penanganan bencana alam, malah kewalahan menghadapi serbuan air bah sejak jaman kompeni hingga sekarang? Apa penyebab utama bencana banjir dan dampak apa saja yang ditimbulkan?

Pertama, sistem mitigasi dan adaptasi bencana adalah pedoman dalam menyusun tata ruang wilayah pemukiman dan peruntukan lahan fungsional dalam sebuah wilayah.

Pesatnya perkembangan industri tidak berbanding lurus dengan progresifitas kebijakan yang mewujud dalam payung hukum untuk menciptakan pembangunan yang berwawasan ekologis.

Sistem mitigasi bencana sebagai tindakan preventif ketika berhadapan dengan musibah alam terbentur dengan rumitnya birokrasi semisal mandeknya pembebasan tanah dalam normalisasi sungai Ciliwung dan macetnya pompa air di pintu pintu air ketika air meluap.

Sementara, sistem adaptasi bencana yang harusnya dimulai dengan kesadaran ekologis dalam hal paling kecil semisal tidak membuang sampah sembarang atau mengurangi penggunaan sampah plastik dalam hidup harian belum menjadi habitus warga Jabodetabek yang mencapai 36 juta jiwa ini.

Lagi, laju perkembangan pengetahuan migitasi dan adaptasi bencana yang diproduksi oleh lembaga rujukan negara; berbasis riset seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tidak menjadi pedoman dalam penyusunan kebijakan.

Sementara instansi teknis seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana kewalahan memancarluaskan apa saja tindakan penyelamatan yang semestinya dilakukan ketika warga mendapat peringatan bencana: Siaga I, II dan III.

Kedua, penyebab ketidakmampuan menangani bencana 'banjir tahunan' karena konflik ekonomi-politik di antara para penguasa. Konflik kepentingan utamanya; pemangku kebijakan tidak mampu menindak tegas bahkan turut bekerjasama dalam pengalihfungsian hutan lindung dan hutan peresapan pada hulu sungai di wilayah Puncak Bogor yang kini menjadi hutan hutan perumahan.

Faktanya, lebih mudah menggusur perumahan kumuh di wilayah bantaran kali dengan alasan tata kota daripada memerintahkan pembongkaran perumahan elit yang jelas membangun pada wilayah peruntukan yang salah.

Pemerintah Kota Jabodetabek bukan tidak mampu menghadapi, mencari jalan keluar untuk menyelesaikan hantu banjir tahunan. Dari bencana yang hampir setengah umur kota-kota ini, telah menghasilkan pengetahuan bawaan dan pengetahuan ilmiah yang terangkum entah secara baku mau pun dalam pemahaman warga kota dalam menghadapi banjir tahunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline