Lihat ke Halaman Asli

Ardi Winangun

TERVERIFIKASI

seorang wiraswasta

Reshuffle Karena Covid-19?

Diperbarui: 8 Juli 2020   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebab merasa tidak puas dengan kinerja para menteri, dalam sebuah kesempatan President Joko Widodo mengatakan dirinya bisa saja melakukan reshuffle. Peringatan akan adanya pergantian menteri bisa jadi merupakan teguran keras agar para pembantunya itu benar-benar melakukan kerja sesuai dengan keinginan President. Lesunya perkembangan ekonomi serta berbagai bidang lainnya terasa sejak awal tahun.

Ini bisa terjadi sebab dunia dilanda wabah Covid-19. Wabah inilah yang menghentikan segala aktivitas ummat manusia di manapun berada. Tidak hanya masalah dunia, masalah keakhiratan pun juga terjeda gara-gara Covid-19.

Adanya anjuran dan aturan seperti lockdown, stay at home, work from home, physical distancing, dan kalau di Indonesia PSBB, hal demikian membuat semua orang terkungkung, tidak bisa beraktivitas secara maksimal. Meski ada cara lewat online namun hal demikian tidak bisa mengatasi permasalahan secara tuntas. 

Bila semua orang tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa, pastinya akan mengganggu roda kehidupan dalam berbagai bidang. Dampak yang terjadi, perekonomian menjadi lesu. Bila ingin memulihkan perekonomian, dunia harus benar-benar bebas Covid-19 dan bangkitnya perekonomian pun tidak serta merta melesat namun setahap demi setahap.

Nah apakah dalam kondisi yang demikian perlu mengganti orang atau mereshuffle menteri untuk memulihkan kembali perekonomian? Baik, buruk, atau bagaimana kinerja menteri itu banyak faktor yang mempengaruhi. Jadi jangan buru-buru menghakimi seorang menteri kerjanya jelek, jangan pula cepat memuji seorang menteri kinerjanya bagus.

Dari dulu semua berharap agar para pembantu President yang duduk dalam kabinet adalah orang-orang yang menguasai masalah atau paham masalah dari kementerian yang dipangku. Kalau disebut harus kaum professional tentu sebutan ini terlalu berat sebab bila kata ini dipakai, jangan-jangan nanti syarat menteri harus professor. 

Bila seorang itu memahami masalah yang ada maka dia bisa memberi solusi bila ada problem-problem dari bidang diurusi. Tidak hanya bisa memberi solusi namun juga mampu memberi tawaran yang lebih bagus dalam proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nah, masalahnya dalam penyusunan kabinet, dari pemerintahan selepas Orde Baru hingga saat ini, yakni keinginan agar menteri seharusnya orang tersebut memahami masalah yang ada, faktor  ini diabaikan. 

Penunjukan seseorang menjadi menteri, dalam politik yang berkembang pasca Orde Baru lebih terasa berupa bagi-bagi kekuasaan. Masing-masing partai pendukung, bila menang, akan mendapat jatah jabatan menteri. 

Posisi-posisi kementerian sudah diplot untuk partai ini, partai itu, dan partai inu. Bahkan ormas-ormas besar pun mendapat jatah. Ketika pembagian kementerian sudah diplot untuk partai-partai yang ada, maka sosok siapa menterinya itu urusan partai politik masing-masing, sementara Presiden hanya menerima nama dan biasanya tak akan menolak nama dari yang disodorkan oleh partai.

Nah, hal yang demikianlah yang membuat kinerja menteri menjadi beresiko. Syukur kalau bagus, kalau tidak maka menteri itu akan menjadi beban President dalam kerja. Resiko buruk lainnya adalah, menteri yang disodorkan oleh partai itu akan melakukan korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline