Lihat ke Halaman Asli

Ardha Kesuma

sesukasukaku

Film "Tilik" untuk Menengok Pentingnya Pemberdayaan Perempuan

Diperbarui: 21 Agustus 2020   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: Ravacana Films


So realite. Realite. Realite. Silakan tengok ulang ada berapa kepala yang menyetujui bahwa film "Tilik" adalah sebuah potret nyata mengenai semestanya ibu-ibu. Pasti begitu banyak, kan?

Bu Tejo sedang menjadi primadona atas dirinya yang berhasil menunjukkan murninya naluri manusia dalam rerasan. Perannya begitu menonjol sampai-sampai penonton dapat merasa terwakili untuk protes terhadap lingkungan. Atau setidaknya, kita jadi sama-sama bisa menyatakan pada dunia bahwa: "Ini loh, nyata adanya manusia yang suka banget membicarakan -sisi buruknya- orang lain". Awas! Nanti terbawa melabeli tetangga rumah sebagai Bu Tejo, loh!

Aku gak akan menuliskan bagian-bagian jalan ceritanya atau potongan-potongan percakapan dari Film "Tilik" yang sudah bertebaran di dunia maya, tapi disini #LetMeTellYouMyRandomThought mengenai perempuan yang seolah-olah lekat dengan rerasan. Bahkan rerasan yang belum tentu kebenarannya. Bahkan -lagi- disetujui oleh banyak manusia.

Aku secara pribadi sempat bosan di menit-menit ke sembilan belas. Bukan karena filmnya gak seru, tapi justru karena keseruannya sampai berhasil membuat rasa menyakitkan. Separuh durasi (?), ohh ternyata memang sepanjang film isinya hanya sesama perempuan yang sedang saling menjatuhkan. Ini gila. Belum lagi soal over thinking yang membawa rasa khawatir seperti: duh, jangan-jangan perempuan menjadi dipandang sebelah mata oleh dunia?.

Film garapan Ravacana Films yang sudah pernah mendapat penghargaan di tahun 2018 itu sebaiknya bukan sekedar dijadikan sindiran soal kebiasaan rerasan sekumpulan ibu-ibu. Dinas Kebudayaan DIY yang menjadi gandengannya sebaiknya juga menjadikan karya hebat Film "Tilik" untuk mengajak dinas-dinas terkait segera menindaklanjuti program-program pemberdayaan perempuan.

Perempuan yang berdaya bukan ujug-ujug (((ujug-ujug))) hidup sebagai perempuan bebas finasial, bebas hak politiknya, bebas berekspresi, menjadi pemimpin, dan pencapaian tinggi lainnya. Ahh, berdaya itu dimulai dari hal paling sederhana. Seperti misalnya bisa ngobrol asik tanpa perlu menjatuhkan sesama.

Di perjalanan tilik wong loro, di rerewangan, atau saat-saat momong pastilah banyak topik pembicaraan hangat selain ngerasani sesamanya. Lagipula, rerasaan bisa soal misalnya: cara membuat kripik pisang anti gagal, bagaimana tips mengelola dana darurat keluarga, variasi menu makanan, tumbuh kembang anak, asik juga kok buat komentarin headline-headline di media pemberitaan.

Atas ide itu memang wajar ada yang protes bahwa kapasitas orang berbeda dan gak semua lapisan masyarakat mampu melakukannya. Jelas! Karena semua wis kadung berjalan. Akses informasi dan edukasi soal pengembangan diri juga belum mampu menjangkau seluruh sudut bangsa ini, jadi wajar saja kalo masih cukup jauh untuk bicara menjadi berdaya.

Setidaknya, bersama Film "Tilik" kita sama-sama diingatkan buat kembali menjenguk betapa mendesaknya sebuah wadah untuk melatih perempuan menjadi saling mengasihi sesamanya dan sama-sama menjadi berdaya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline