Lihat ke Halaman Asli

Arai Amelya

heyarai.com

Menenun Asa, Mengikat Ekonomi dari Kaki Gunung Inerie

Diperbarui: 21 Desember 2022   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampung Adat Bena, Kabupaten Ngada, Flores - NTT foto: Arai Amelya

Pandemi Covid-19 adalah sebuah kisah kelabu. Banyak orang menangis tersedu-sedu saat harus terkapar oleh hantamannya. Tak ada cerita pilih kasih soal corona. Wabah ini menghantui siapapun tanpa tebang pilih, tak peduli bergelimang harta atau mereka yang harus mengais asa setiap harinya.

Mereka yang berhasil bertahan, tentu mengalami kisah kehilangan yang tak semuanya ingin dibagikan. Ya, kita tentu sepakat, corona memang sangat melelahkan. Namun menyerah jelas bukan pilihan terakhir karena selalu ada harapan untuk mereka yang berani melawan.

Ada banyak sekali cerita kepahlawanan yang tak harus turun membawa meriam atau mengendarai tank. Bahkan mungkin diurai dari pelosok-pelosok daerah yang tanpa sadar, kontribusinya memberikan gerakan kecil pengawal riakan besar dalam samudera ekonomi nasional. Di tangan pebisnis-pebisnis kecil yang kerap disebut UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) inilah, Indonesia menggantungkan harapan.

*****

Wajah Maria Sawi berseri-seri. Tak ada lagi kebingungan untuk mencari uang kembalian, saat seorang wisatawan asal Medan membeli dua kain tenun ikat hasil karyanya. Maria hanya perlu menyodorkan label QRIS yang dia miliki dan sang wisatawan melakukan transaksi lewat ponselnya.

Kuhitung tak sampai lima menit sampai akhirnya transaksi digital itu berhasil dilakukan. Senyum Maria tampak semakin melebar saat bukti transaksi disodorkan. Dengan segera dia mengemas dua kain tenun ikat itu dan berpindah kepemilikan kepada sang pembeli. Maria pun duduk kembali untuk meneruskan pekerjaannya, tampak puas betul karena belum sampai matahari di atas kepala, sudah ada kain yang laku di rumahnya.

"Baru sebulan kami pakai QRIS ini, kakak. Jadi biasanya masih sedikit bingung dan lupa. Tapi sejak pakai ini karena diajari orang bank, mama sudah tidak cari uang kembalian lagi. Turis jadi lebih gampang juga kalau beli, cuma pakai HP saja," cerita Maria saat kami berbincang di teras rumahnya di Kampung Adat Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur bulan November 2022 lalu.

Aku mengangguk, mengamatinya yang begitu terampil di balik meja tenunnya. Tangannya menarik helai demi helai benang sambil terus bercerita bagaimana satu lembar kain dia selesaikan dalam waktu dua pekan hingga satu bulan. Aku amati lekat-lekat kembali kain tenun yang dikerjakan oleh Maria. Sesuai dengan yang kuketahui, kain-kain tenun di Bena ini lebih sering bermotif jara (kuda), wa'l manu (cakar ayam) ghi'u (garis yang dinamis) hingga bhaga, ngadu dan ube.

Maria Sawi, salah satu pengrajin tenun ikat di Bena foto: Arai Amelya

Meskipun sudah tersentuh oleh teknologi modern termasuk dalam hal perekonomian, masyarakat Bena seperti halnya mama Maria, masih menjaga betul tradisi lokal mereka seperti kegiatan membuat kain tenun ikat. Selain itu yang juga sangat menonjol adalah arsitektur bangunan yang masih sederhana dan konon sudah ada sejak 1.200 tahun lalu. Tak heran kalau akhirnya Bena dianggap sebagai salah satu perkampungan megalitikum paling berpengaruh di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline