Lihat ke Halaman Asli

Achmad Room Fitrianto

Seorang ayah, suami, dan pendidik

Soulmate dan Mawadah wa Rahmah Kehidupan

Diperbarui: 19 September 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa tahun terakhir ini saya melakukan touring di sekitar western australia, dari Esperance, Albany, Denmark, Augusta, Margaret River, Bushelton, Pinjara, Corrow, Kalgoorie, Menzies dan menemukan satu trend yaitu banyak couple yg cukup senior kalau tidak boleh dikatakan Tua, yang terlihat spending time together dimasa tuanya. Saya ndak tahu apakah mereka adalah pasangan suami istri yg didapatkan di pernikahan pertama mereka atau di pernikahan lanjutan (bercerai dan menikah lagi). Pembelajaran yang saya dapat adalah we need soul mate utk bisa menikmati, menjelajahi dan mengarungi kehidupan. Soul mate yang mampu membayangimu kemanapun dirimu pergi. Se-iya se-kata, senasib sepenangungan. Ketika kami mengunjungi danau Ballard di North Menzies, sebuah danau yg memberikan hamparan garam tipis dipermukaan tanahnya yang mana ditengah tengahnya terdapat sebuah gumuk (bukit) dan jalan ke arah gumuk kita akan menemui "thinman", sebuah patung logam simbol laki laki, perempuan dan anak laki lakinya yg spending time di danau itu. Di danau yg unik ini kami menemukan banyak pasangan senior yg menghabiskan waktu di alam bebas, menikmati suasana hening dan gemerlapnya gemintang, berdua. Iya berdua! Saya jadi membayangkan apakah mungkin saya memiliki kesempatan seperti mereka?
saya yakin untuk bisa seperti mereka tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tahapan tahapan yang diharus dilalui dan ditempuh. Anehnya konsepsi "mawadah wa rahma" banyak saya lihat disini. Disatu sisi saya memahami bagaimana menikah itu sebagai usaha untuk melengkapi "addien" kita, melengkapi pemahaman terhadap fenomena kemanusiaan dan lingkungan sekitar kita. Melengkapi untuk bisa hablummninal alam dan hablum minnas. Namun disisi lain, ketika sosok yang kadang "mengaku" sebagai pasangan kita cenderung "memaksakan" kehendak dan " mau"nya sendiri, akankah membawa kedamain dan ketentraman hati? atau malah membawa kepada suasana " hidup segan, matipun tak mau". Untuk masalah ini sebetulnya para "ambiyak" juga memberikan solusi kog. Ndak usa repot repot.....dahulu kala ketika Nabi Ibrahim mengunjungi Ismail yang beliau tinggalkan untuk beberapa lama di tengah padang pasir dan "hanya" berbekal mata air zamzam. Pada kunjungannya ini beliau mendapati Ismail sudah berkeluarga dan ketika dirumah di"sambut" Istri Ismail. Tiada disangka dan dinyana dalam kunjungannya ini Ibrahim sang Waliyullah memiliki "kesan" negatif terhadap menantunya ini. untuk itu si "Ibrahim" berpesan kepada Ismail yang dititipkan ke istrinya agar "mengganti Pintu". Dari Riwayat memang diketahui bila setelah mendapat pesan sang waliyullah ini Nabi Ismail menceraikan Istrinya dan memperistri seseorang lainya yang pada akhirnya menurunkan Nabiyullah Muhammad SAW.

Pembelajaran dari cerita ini adalah dimungkinkan sekali untuk meredevinisi "soulmate" kita bila prinsip prinsip yang kita percaya tidak bisa selaras dengan harapan hidup. Namun sayang dalam riwayat kisah nabi Ismail membangun bahtera rumah tangganya tidak dijabarkan secara lepas. Maksudnya tidak dijabarkan secara lepas adalah kita tidak pernah tahu sebetapa "galau" Ismail ketika mendapati kenyataan bila pasangan hidupnya adalah ibarat "duri dalam daging" sampai sampai bapaknya menyarakan untuk mengganti "pintu". Kedua, Kita tidak pernah tahu bagaimana bingungnya Ismail dalam menentukan pilihan berikutnya. Jangan jangan pilihannya nanti salah dan mengulang kesalahan yang sama, jangan jangan keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Ketiga, saya sudah membayangkann andai Ismail menemukan "the rigth soulmate" gimana sikap dia ya, apakah Ismail langsung diterima atau dia harus berliku liku untuk mendapatkan pasangan berikutnya yang tepat. Namun dari tiga pertanyaan dari kisah Ismail ini didapat kesimpulan bila for the next partner, Ismail tidak salah pilih.

Kembali ke carita awal disini bahwa hidup dan adventuring alam beda beda tipis lah, sebelas dua belas lah. Ketika kita mendapatkan pasangan yang tepat dalam perjalanan kita akan tergila gila untuk mengulang adventures lagi dan lagi dan lagi dan lagi tanpa bosan dan malah akan merancang pada next travel yang lebih menantang dan not forgetable. Sama halnya bila kita sedang advanturing mendapatkan partner yang kurang "easy going" kurang "fun" kurang "shareable" maka kedepan kita akan "aras-arasen" untuk bertraveling bersama lagi. Kebersamaan yang berulang itulah yang akan membantu saling memahi rasa, memahami asa dan memahami jiwa. Dari kepemahaman ini akan membangun keserasian dalam bertindak serta keselarasan dalam mengoptimalkan langkah.

keselarasan dan keserasian inilah yang dikenal dengan mawadah warahmah kehidupan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline