Lihat ke Halaman Asli

Mina Apratima Nour

:: Pluviophile & Petrichor ::

Puisi | Bulan Sebelas...

Diperbarui: 5 Desember 2019   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(image: Fine Art America)

Tengah malam di awal November.

Terlalu nyenyat bagi sebuah nyenyak. Tonggeret pun seakan lelap. Tapi ia masih embara di rimbun aksara. Mencoba terjemahkan bisu jemala. Mencuri dedaunan diksi. Merangkai sebuah puisi gaduh. Tak lupa, ia selipkan sedikit kenang di antara genang-genang sepanjang larik. Lantun rima berisik, menuai bisik penghuni langit. Tengah malam itu, lahirlah sebuah puisi gulana penuh lelungit.

Ia sadar, binar telah lindap di bohlam netranya yang cerlang. Ingin rasanya ia terungku sisa-sisa binar itu. Sebagai penghias malam. Sebagai pengingat masih ada sedikit bara. Pada cerita yang dianggap ada...

Lelungit kian menjadi. Mengombak di dada, tanpa tau harus mengalir kemana, ke siapa. Maka ia laungkan sekali lagi namanya. Di antara kartika, di rumpang bumantara. Dengan rasa yang tak pernah genap. Dengan karsa yang selalu mengendap.

Mungkin sudah waktunya ia belajar ikhlas. Lekas melepas seluruh sungkawa. Gegas merumahkan rasa. Ia tahu betul, mereka adalah sepasang ketidakmungkinan yang paling mungkin. Mayapada lebih paham, tentang mereka yang tak lebih dari sebuah amin.

Bulan sebelas.
Sekejap segalanya selesai....

Jauh sebelum ia memulai.

- Jakarta, 1 November 2019 -




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline