Lihat ke Halaman Asli

Anthony Tjio

TERVERIFIKASI

Retired physician

Naik Kereta Cepat yang Super Lambat di Tiongkok

Diperbarui: 5 Oktober 2016   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(gambar AH Tjio)

Hari ini semestinya sangat menyenangkan, sebab bisa menemukan peninggalan Negeri Tjio, tanah leluhur marga kami di Henan yang sudah lama dicari, dan sekarang waktunya kembali ke Guangzhou. Gara-gara buntut topan yang baru lewat disini mencurahkan hujan lebat yang menghambat perjalanan, taxi yang dinaiki juga harus menurunkan kecepatannya, sampai hampir merambat seperti dalam perjalanan dari Surabaya ke Malang dihari cerah. Sehingga, sewaktu sampai di Stasiun Xinyang Henan, sudah ditinggal bullet train yang untuk pulang Guangzhou itu satu setengah jam.

“Ni-hao. May see (Tidak apa-apa).” Begitu kata ibu diloket karcis Station Baru Xinyang, setelah mendengar suara kepanikan saya. “Dandan (Tunggu). Coba saya carikan kereta lain untuk malam ini.”

Sambil menunggu dia mencari dilayar komputernya, saya sendiri mulai merasa khawatir bila harus menginap disini malam ini, karena besok dari Guangzhou masih mau terbang ke Johor Bahru.

Sungguh terjadi. “Ayah (Aduh), Tuan, memang ada 14 kereta super cepat yang melalui sini ke Guangzhou, tetapi rupanya sudah tidak ada lagi untuk malam ini, harus tunggu sampai besok pagi.”

Dia terus mengawasi layarnya, dan melanjutkan: “ Kereta super cepat sudah tidak ada malam ini” dia mengulang, “tetapi supaya Tuan tidak kehilangan uang karcis kereta yang ketinggalan itu, saya anjurkan menumpang salah satu kereta cepat yang masih ada keberangkatan ke Guangzhou malam ini.” Memang setiap hari ada 46 kereta cepat diantaranya 14 CHR yang melalui sini ke Guangzhou. Penukaran karcis hanya berlaku pada hari yang sama. Dengan tidak kesabaran, cepat kuterima sarannya.

Dia teruskan setelah mendapat persetujuan saya, “Ada satu keberangkatan kereta cepat sejam lagi pada pukul 19:35, tetapi bukan dari sini, kereta itu ada distasiun lama diseberang Kota.” Saya OK saja, asal ada keberangkatan.

“Sekarang saya carikan karcisnya, kalau masih ada yang sisa.”  Ini apaan lagi, pikirku?

“Dalam kereta cepat yang masih ada, hanya tinggal satu karcis duduk dikelas dua (kelas kambing).”

“Payah, karena kami perlu dua karcis, saya dan adik saya berangkat bersama. Bagaimana?” Saya lebih panik.

Dia tenang-tenang saja, keadaan begini tentunya sudah terlalu sering buat dia sehari-hari. “Pujian (Dengan menyesal) Tuan, hanya tersisa satu karcis duduk, tetapi bisa beli karcis yang kedua, hanya saja tidak ada duduknya.” Ach so, ada standing room?

Sekejab itu saya merasa ada harapan besar, bukankah dulunya juga mondar mandir secara begitu sewaktu masih sekolah, berdiri dari Surabaya ke Malang puluhan tahun lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline