Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (First)

Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Aku, Ruang, dan Waktu?

Diperbarui: 26 April 2018   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. Pribadi)

Oleh. Purwalodra

Di era yang serba digital, serba online, serba cepat dan serba terbuka sekarang ini, kita selalu dituntut untuk mampu mawas diri, mampu bekerja hati-hati dan tanpa meninggalkan hati nurani. Sekarang ini, apapun yang kita lakukan akan langsung memiliki 'multiplier effect' (dampak) yang tak terpikirkan oleh pikiran manusia. Bahkan, prediksi dan ramalan para ahli pikir sekalipun, tak mampu mengestimasi peristiwa yang akan terjadi esok hari. Semua serba cepat, serba instan dan seakan waktu yang kita miliki, tak lagi menjadi milik kita yang bisa kita kelola dengan berbagai pengetahuan manajemen.

Kita selalu berharap agar waktu bisa lebih panjang, lebih indah dan lebih menenangkan.  Dengan begitu kita bisa sedikit bernafas panjang dengan berbagi tugas, pekerjaan dan usaha yang kita jalani setiap hari. Namun kenyataanya, waktu lebih cepat dari pikiran kita sendiri. Kita selalu tertinggal jauh dengan waktu.

Kita sangat terkejut, kerna tiba-tiba tugas sudah 'deadline.' Lantas kita juga tiba-tiba terhenyak dengan segala sesuatu yang waktunya sudah tak tersisa lagi. Akhirnya, kita menyesal dengan waktu yang tak sengaja, tidak kita manfaatkan dengan baik dan benar. Ketika kita mencoba menyandingkan waktu dengan tenaga dan pikiran, ternyata waktu lebih kuat dan lebih cerdas. Pada saat kita menyandingkan waktu dengan uang, jabatan dan nama besar kita, ternyata waktu lebih kaya, lebih terhormat dan menjadi tak terprediksikan.

Sungguh ironis, ketika ada seseorang yang berjanji akan menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu, tepat sasaran dan tepat tujuan. Sejujurnya, tak ada manusia yang mampu berhadapan dengan waktu. Karena waktu bukan milik kita, tapi miliki sang Khaliq, sang Pencipta 'waktu' di alam semesta ini.

Dalam Al Qur'an Surah ke-103, yang terdiri dari 3 ayat, pada juz ke-30 atau Juz 'Amma dan yang termasuk kedalam golongan surah Makkiyyah karena turun di Kota Mekah. Surah ini berisi tentang manusia yang sesungguhnya berada dalam keadaan merugi kecuali mereka yang selalu beramal shaleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Allah Swt berfirman, "1). demi masa. 2). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3). kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al AShr, 1-3).

Ternyata waktu yang melekat dalam hidup kita itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena ia takkan kembali. Sehingga, jika kita sedikit berpikir maka sebenarnya tak ada istilah waktu luang dalam hidup kita. Waktu akan terus berjalan, meskipun kita tidur atau bahkan kita menganggapnya sebagai waktu luang sekalipun.

Waktu terus berlari tanpa kembali lagi. Oleh karena itu, ke-Iman-an dan kesabaran adalah pangkal keselamatan, sertakebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Iman yang sebenar-benarnya yang selalu mendorong kita untuk melakukan kebaikan (amal salih) Inilah jalan keberuntungan, jika kita sandingkan antara apa yang kita perbuat dengan bergeraknya waktu tersebut.

Berbagai pemikiran Filsuf di awal abad pertengahan Eropa juga berpikir tentang keberadaan waktu ini. Mereka, melihat perbedaan antara dua macam waktu, yakni waktu subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di dalam batin dan pikiran kita.

Sementara, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di dalam jam dan kalender. Ia adalah hari, jam dan tanggal yang digunakan sebagai panduan oleh banyak orang di dalam hidupya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline