Lihat ke Halaman Asli

A. Anindita

Karyawan Swasta

Keparnoan Penggunaan Kata-kata (Pembelaan terhadap Kata-kata yang Terlanjur Dicap Buruk)

Diperbarui: 24 April 2016   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berawal dari percakapan, saat seseorang melihat galeri foto saya.

“Ini edit pakai *nama aplikasi foto* ya?”

“Iya itu kemarin lagi iseng aja, nyoba pakai stiker babi dari aplikasinya.”

“Ibab.” ralat orang itu.

“Babi... Iya pakai stiker babi.” ralat saya balik.

Setelah percakapan itu saya berpikir, salah saya apa ya, saya kan benar pakai kata tersebut untuk merujuk pada arti yang sebenarnya. Saat saya tanya kenapa harus pakai diralat segala, katanya untuk “memperhalus” makna.

Kemudian, saya berpikir, apa saat ini (mungkin juga dari lama, tapi saya yang baru sadar) sudah terjadi pergeseran dari penggunaan kata karena kebiasaan mengumpat menggunakan kata-kata tersebut sehingga secara tidak sadar meminbulkan keparnoan atas penggunaan kata-kata tersebut dalam percakapan biasa.

Selain kata-kata biasa yang menjadi “korban” sebagai akibat pemakaian ganda dalam mengungkapkan umpatan, banyak juga kata-kata lain yang sering digantikan dengan kata lain untuk merujuk pada makna aslinya dengan alasan lain seperti, tidak pantas dipakai atau bisa menimbulkan hal yang tidak diinginkan. Dan tanggapan saya seperti, errr okay apa yang sebenarnya orang-orang ini pikirkan. Penggunaan kata lain, untuk mengganti kata sesungguhnya kadang terasa janggal untuk saya karena terasa menggelikan.

“Eh liat deh, guguknya lucu banget!”

“Daging apa tuh? Oik-oik bukan?”

Kita tertawa. Kita mafhum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline