Lihat ke Halaman Asli

Untuk Kita, Jangan Lagi Membawa Bencana

Diperbarui: 4 Maret 2016   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Foto Bersama teman-teman satu fakultas]

Kau, berkali-kali terus bersekolah. Di ajarkan tentang logika, etika dan estetika. Sejak sekolah dasar kau di didik untuk menjadi seorang sukses hebat yang bisa membagakan diri dan orang tua. Hingga kini, diperguruan tinggi, kau masih menjumpai dengan kertas dan pena. Membaca lagi, menulis lagi, menghitung lagi, namun kau jarang terlihat untuk menganalisa keberaanmu.

Kau masuk diperguruan tinggi, berjumpa dengan teman-teman baru, orang-orang asing baru kau lihat, tak sedikit pun orang yang kau kenali. Kau berproses, bergelut dengan buku-buku pelajaran selama hampir punah. Tapi kau terus bersemayam, untuk mendapatkan predikat yang dijanjikan oleh kedua orangmu.

Selama Empat tahun, biaya yang kau keluarkan hampir setara dengan biaya Dua kali lipat untuk mengantarkan orang tuamu pergi Umroh ketanah mekah.Bayangkan? Coba kau mainkan jari-jarimu, hitunglah. Baca tulisan menghitung biaya kuliah (https://www.facebook.com/notes/akang-endho/hut-kemerdekaan-ri-menghitung-standar-biaya-kuliah/801443003306683).
Hening, kau gelisah. Murung hidupmu, sudah banyak sekali biaya yang kau keluarkan untuk mendapatkan gelar SARJANA. kau pulang membawa tropi gelar KESARJANAAN. Orang tuamu bangga, menangis dan merasa haru, bisa menyekolahkanmu keperguruan tinggi hingga selesai.

Belum berakhir langkahmu, kau kembali ketanah kelahiranmu. Melihat kesibukan orang-orang disekitar. Ada sebagaian pulang tanpa potensi hanya menunggu Cek PNS baru bergerak, ada juga yang bangga sudah bisa memakai keki dan berdasi meski baru HONOR yang gajinya There bulan, tidak sebanting dengan biaya trasportasi dan makan selama mengajar, ada juga yang terpaksa harus bekerja buruh lepas meski tertimpa malu, karna kebutuhan penghidupan, dan ada yang Egoisme walaupun perut tercekik kelaparan.

Semua adalah cara dan nasib kita. Bagaimanapun, Itu adalah bagian dari langkah kehidupan yang kita jalanin, sebab tidak ada hasil yang menghianati proses.

Lihat, coba kau tengok. Membuka mata, membuka pikiran, di tanahmu sedang ribut Honorer K2, ribut ASN yang akan dimutasi beberapa bulan kedepan, ribut tani ternak yang terhalang mata pencarian atas ulah bagi jatah tanah letusan tambora, bersamanya kau akan tertimpa musiba yang sama. Jika kau masih diam tidak bergerak. Kau masih kosong untuk hari ini, tapi tak mengapa, masih ada hari esok untuk kau isi.
------

Pikiranmu dihantui, dari beragam persoalan yang akan kau hadapi nanti. Kau sendiri, bingung. Tidak bisa melakukan apa-apa pada sesuatu yang banyak.

Sekarang, tidak terasa kau sudah menganggur setahun lebih, tidak ada kegiatan sama sekali. Orang tuamu kelihatan sangat sibuk, jalan kesana-kemari mencari celah agar kau bisa bekerja. ia tertimpa sangat malu. Selama ini, merawat, mengasuh, mendidik, membesarkan anak yang tidak ada hasil pada akhirnya.

Syukur saja, orang tuamu masih pedulikan nasibmu. Meski kadang kalah ia sering depresi memikirkan sesuatu untukmu, sebab kau adalah anak dari daging dia sendiri, “Kau tidak Sukses, Maka ia dampaknya”. Seperti yang sering kau jumpai, disekitar lingkunganmu itu. Segala sesuatu yang tidak berhasil tentu ada imbas yang di peroleh. Maka ora tuamu ibasnya, di cemooh, dicaci, dihina dan dicercah habis-habisan oleh orang lain.

Sebelum menjadi-jadi, merembet kepadamu. Ayahmu, kerap kali menyembunyikan muka kegelisahanya. Ia tidak ingin kau tau, akan hal ini, akan hal yang pernah ia bangga-banggakan dulu, yang pernah ia cerita-ceritakan keberadaanmu disekolah tingi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline