Lihat ke Halaman Asli

Penderitaan Tanpa Akhir

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang Ramadhan sudah didahului dengan barang-barang kebutuhan pokok naik. Tak ada kebutuhan dasar yang tidak naik. Semuanya sudah  naik. Hidup di Republik ini bagi rakyat jelata seperti hidup di neraka. Siksaan dan penderitaan  terus mendera. Terus bertambah bagi rakyat jelata. Bukannya berkurang.

Apa yang akan dimakan rakyat jelata Ramadhan nanti? Adakah mereka masih akan dapat melaksanakan buka puasa atau sahur? Rakyat jelata yang  hidupnya terus dihimpit siksaan dan penderitaan itu, mereka hanya pasrah terhadap kenyataan hidup yang sangat pahit ini.

Di pusat kota Jakarta inipun, ada keluarga yang hanya mampu buka puasa dengan singkong rebus dan tempe rebus plus garam. Mereka bertahan dengan kehidupannya. Mereka jalani kehidupannya dengan shabar. Tidak mengeluh.

Sementara itu, harga beras terus melambung, dan semakin banyak rakyat tidak mampu membeli. Hatta beras yang paling murah sekalipun. Karena tingkat pendapatan rakyat jelata sangat kecil. Tidak mampu membeli "raskin".

Sayur-mayur, buah-buahan, daging, gula, dan kebutuhan lainnya, sudah naik berlipat-lipat. Ibu-ibu yang pergi ke pasar, hanya melihat-lihat dan memegang, tanpa mampu membelinya. Pemandangan di pasar-pasar tradisional itu, sungguh sangat mengenaskan. Tak ada wajah ibu-ibu yang bergembira menjelang Ramadhan ini. Karena semua serba mahal.

Mengapa semua kebutuhan dasar itu menjadi mahal? Karena semua barang kebutuhan dasar untuk rakyat di import. Beras yang kita makan sehari-hari di datangkan dari Thailand dan Vietnam. Rakyat Indonesia memberi keuntungan kepada negeri Thailand dan Vietnam. Terus menerus. Uang rakyat Indonesia mengalir ke Thailand dan Vietnam.

Tentu, kalau beras di datangkan atau diimport, ada yang pihak yang diuntungkan, yaitu para pengusaha importir beras, dan pejabat (birokrat) yang memberikan izin kepada importir. Itulah yang membuat harga beras import menjadi mahal. Pengusaha mencari untung berlipat-lipat, sementara pejabat (birokrat) ingin mendapat "fee" dari izin yang diberikan kepada importir. Rakyatlah yang harus menanggung beban.

Daging yang dikonsumsi rakyat ini, juga semua diimport dari luar negeri. Daging yang dikonsumsi rakyat, didatangkan dari Australia dan Selandia Baru, jumlahnya ribuah ton, dan nilainya puluhan  triliun rupiah. Sungguh luar biasa. Keuntungan yang didapatkan dari para importir dan pejabat yang mengeluarkan izin import itu. Semua terjadi "pat-gulipat" antara para pengusaha dan pejabat. Korbannya rakyat jelata, yang miskin, yang hidup sudah penuh dengan penderitaan.

Mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi kepada petani dan peternak, sehingga Indonesia tidak bergantung kepada asing atau luar negeri? Bagaimana bisa dimengerti oleh akal sehat, Indonesia harus bergantung beras dan daging kepada asing? Padahal, luas daratan Indonesia yang bisa ditanami dan menjadi tempat peternakan sangat luas. Tetapi pemerintah memilih dengan jalan "shortcut" (jalan pintas) mengiport beras dan daging.

Membiarkan para petani menjadi semakin miskin. Membiarkan rakyat terus-menerus makan beras dan daging import. Tidak ada usaha yang serius mengubah keadaan yang ada. Tidak ada langkah yang konsisten dari pemerintah menjadi negara yang swasembada pangan, dan mencukupi kebutuhan daging.

Di pasar-pasar, sampai ke pasar tradisional pun, sekarang sudah dibanjari barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar rakyat. Semuanya berasal dari luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline