Lihat ke Halaman Asli

Alya MazziyatulUlya

Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Perjuangan Mbah Tugiyem, Seorang Penjual Camilan yang Hidup Sebatang Kara

Diperbarui: 9 Desember 2021   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Mbah Tugiyem yang sedang menjajakan dagangannya (Foto oleh Alya Mazziyatul Ulya)

Di bawah terik matahari Kota Yogyakarta, seorang wanita tua berjalan kaki keliling untuk menjajakan dagangan yang dia gendong di punggungnya. Sesekali wanita berbaju batik itu berhenti ketika ada pembeli dan dengan ramah menyebutkan harga dagangannya satu per satu. Meski raut wajahnya nampak lelah, namun dia selalu tersenyum ketika berjualan ditengah hiruk pikuk keramaian pasar.

Mbah Tugiyem, begitulah wanita berusia delapan puluh tahun itu biasa disapa, dia adalah seorang pedagang camilan yang biasa mangkal disekitaran pasar Malioboro dan Beringharjo. Setiap hari ia pergi berjualan di tempat tersebut. Ada bermacam camilan yang dia jual, mulai dari popcorn, rengginang, kripik ubi, emping, kacang panggang dan kacang goreng. Harga yang ditawarkan juga sangat murah, yaitu 1.000 rupiah sedangkan untuk harga camilan kacang 2.000 rupiah dan tentu rasa camilannya juga sangat enak.

Wanita yang tinggal di daerah Pakel ini telah memulai usahanya berjualan camilan sejak tahun 1977. Rutinitas beliau setiap pagi sebelum berjualan adalah menyiapkan barang dagangannya, seperti mengupas kacang, menjemur, kemudian menggoreng dan membungkus dagangannya tersebut. Semuanya dia lakukan sendiri.

“Awalnya ya ngupas kacang, setelah dikupas dibawa untuk dijemur, setelah itu ditunggu takut kalo diganggu sama ayam, habis itu digoreng baru dibawa kesini” Katanya.

Setelah barang dagangannya siap, beliau akan berangkat ke tempat jualan menggunakan becak seharga Rp 15.000 sekali jalan. Mbah Tugiyem akan menjual dagangannya sampai habis dan apabila belum habis beliau belum akan pulang ke rumahnya. Di usianya yang tidak lagi muda, semangat yang beliau miliki sangatlah besar. Walaupun pendapatan yang dia terima tidak seberapa dan bahkan terkadang tidak mendapat hasil apa-apa, namun hal itu tidak membuat dia gentar melakoni kehidupan.

Sesekali ada pembeli yang mampir selama sesi wawancara dan dilayani oleh Mbah Tugiyem dengan senang hati. Beliau saat ini hidup sebatang kara setelah ditinggal oleh sang anak dan suaminya. Anaknya meninggal di usia yang masih sangat muda, yaitu 21 tahun akibat tersetrum listrik sedangkan suaminya meninggal karena usia.

“Umur 21 kesetrum mati anak saya lelaki, namanya Parman. Sedangkan suami saya namanya Ahmad Sahid meninggal umur 90 tahun bukan karena sakit tapi karena usia”

Ketika menceritakan hal tersebut, mata Mbah Tugiyem terlihat berkaca-kaca lalu beliau dengan cepat mengambil kain dan mengusap air matanya. Kemudian beliau kembali memasang senyuman di wajahnya. Selain hidup sebatang kara, Mbah Tugiyem juga tidak terlalu dekat dengan tetangganya sebab tetangganya adalah orang-orang kaya yang memiliki pabrik marmer dan sagu disana. 

“Saya enggak deket sama tetangga, tetangga saya itu orangnya kaya-kaya yang punya pabrik sagu dan marmer dan kalo saya ngomong sama mereka itu suka kurang nyambung”

Wanita kelahiran 1941 itu sejak kecil telah dihidupi oleh kakaknya sebab kedua orang tuanya telah meninggal ketika beliau masih kecil. Beliau kemudian disekolahkan  namun tidak bisa menamatkan bangku Sekolah Dasar sehingga beliau tidak bisa membaca dan menulis. Jadi, menjual camilan goreng adalah pilihannya untuk mencari nafkah dikarenakan keterbatasannya tersebut.

“Saya cuma punya keterampilan goreng-goreng kayak gini, jadi ga bisa kalau harus jualan yang lain. Selamanya saya akan jualan ini”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline