Lihat ke Halaman Asli

Aluzar Azhar

Penyuluh Agama Honorer

Negeri Darurat

Diperbarui: 28 November 2016   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengerikan!

Jika ahli kesehatan omong soal bahaya rokok, memang mengerikan! Jika ahli bangunan omong soal konstruksi jembatan penyeberangan, memang mengkhawatirkan! Jika ahli agama omong soal kualat riba dan zina, memang menakutkan! Namun kita kini orang pintar. Semua gampang, jangan dipersulit dan kita bukan negara agama. Titik!

Politik dan ekonomi bergiliran menjadi panglima, padahal panglima sejati (Sila Pertama) di-singgasana-kan dan selalu dimakzulkan atas nama kekhawatiran yang tak pernah terbukti. Ya, inilah Indonesia, negeri darurat.

Tulisan ini tulisan klise yang selalu di-rewind, sehingga kualitasnya memprihatinkan (baca: mengerikan).

Ini testimoni kawan yang mengaku ‘darurat’ bekerja di dunia finansial-konvensional karena “Nyari kerjaan susah,” katanya. Ini kesaksian saya terhadap seorang kawan yang terpaksa merekayasa lelang tender agar mendapat SPK (Surat Perintah Kerja) karena sistemnya ‘begitu’ dan ‘darurat’ harus menghidupi keluarga karyawannya. Soal korupsi? Saya kira, kita semua koruptor, kecuali yang merugikan orang lain apalagi Negara; mungkin, hanya Tuhan Yang Mahatahu; KPK tahu dikit-lah.

Soal darurat riba (bunga bank), alm. A. Hassan, guru ormas Persis (Persatuan Islam) berijtihad: yang kotor (riba) untuk yang kotor lagi (seperti untuk fasum, fasilitas umum: WC umum atau tempat sampah). Saya setuju. Perhatikanlah negeri kecil Swiss, orang kaya Timur Tengah menabung di sana dan riba tidak diambil. Tetapi, saya berharap untuk ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’ yang ‘utama’ di kita, jangan dari riba dong, Wi!

Kencing Jongkok

Apakah kita negeri darurat? Dalam lingua franca, percakapan sehari-hari, di lingkungan saya, selalu nyembul frasa: “Ya, untuk sementawis-lah” (Sunda: sementara, yang harus dimaknai ‘sementaun’ alias untuk bertahun yang tak bisa ditentukan kapan diperbaiki secara permanen). Di dunia politik dikenal istilah ‘status quo’; di dunia ekonomi dikenal istilah ‘monopoli’. Begitulah doktrin profan untuk bertahan hidup di negeri kita.

Mengapa ada peribahasa: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari?” O, ow … peribahasa ini salah satu kristalisasi kearifan leluhur kita. Mengapa (lelaki) masih kencing berdiri dan mengapa di WC-WC umum tidak menganjurkan (lelaki) untuk kencing jongkok? Memang, pakaian bawahan kita (lelaki) tidak kondusif untuk kencing jongkok dan kita tidak banyak waktu, sehingga kita selalu ‘darurat’ kencing berdiri.

Jika guru (lelaki) kencing berdiri dan kelihatan murid (lelaki), memang jadi bad influence. Itulah mengapa ada peribahasa tersebut. Karena jika guru demonstrasi, bagaimana murid?

Soal zina, apakah variabel aurat? Aktivis HAM menyergah: “Itu ‘piktor’ (pikiran kotor)!” Setuju. Itulah mengapa leluhur menyebut alat kelamin kita ‘kemaluan’ atau orang ‘sana’: ‘genitalia’. Memang berbahaya, jika genitalia merupakan personifikasi yang ‘genit’ di sekitar kita, sehingga kita mengumbar kemaluan atau kehilangan rasa malu kita.

Wi …

Apa kabar 45 Butir P4? Mungkin, Wi, akar masalahnya (core-nya): cita-cita Negara di Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 serta semangat era reformasi (transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas) belum sama-sama dilakukan atau saling klaim telah melakukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline