Lihat ke Halaman Asli

Almizan Ulfa

TERVERIFIKASI

Perlukah Investor Asing Dimanjakan di Sektor Hulu Migas?

Diperbarui: 18 September 2016   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Index Mudi dan NK&RAPBN (2015/2016), diolah

Mari kita jawab pertanyaan yang sering menjadi kontroversial itu, pelan-pelan. Kita mulai dulu dengan grafik diatas yang mempelihat terus merosotnya produksi minyak mentah Indonesia. Dalam periode 1980an, produksi minyak mentah kita masih sekitar 1,6 juta barrel per hari dan kita masih menjadi anggota OPEC dan bahkan pernah jadi ketuanya.  

Tahun 2004 produksi Migas kita sudah menyentuh tingkat 1 jutaan barrel per hari, kita sudah menjadi net importir minyak dan di tahun 2008 kita terpaksa dikeluarkan dari OPEC. Kini, di tahun 2016, produksi minyak mentah kita tinggal 800 ribuan barrel per hari. Impor minyak kita sekitar 80 juta barrel setahun, dalam beberapa tahun terakhir.

Lebih jauh lagi, banyak yang memprediksi bahwa jika tidak ada kebijakan yang mumpuni di sektor hulu Migas, maka produksi minyak mentah kita akan tinggal sekitar 500 ribuan barrel per hari di tahun 2030 nanti. Impian Indonesia masuk kelompok 10 negara terkaya di dunia, besar kemungkinannya, tetap akan menjadi mimpi di tahun 2030 itu. 

Pertanyaannya sekarang adalah kenapa produksi tersebut terus melorot? Tiga otoritas pengendali sektor hulu Migas yang berbeda: Pertamina (1971 - 2001), BP Migas (2001 - 2012), dan SKK Migas (2013 - sekarang), gagal menghentikan penurunan produksi minyak mentah Indonesia.   

Dengan demikian, apakah cadangan minyak di perut bumi Indonesia memang sudah kering? Atau, semua entitas otoritas sektor hulu tersebut memang gagal menciptakan kebijakan yang mumpuni sehingga tidak ada kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi yang significant untuk menemukan cadangan Migas baru, yang sebetulnya masih melimpah? Dugaan sementara, cadangan yang masih melimpah tersebut terdapat di wilayah laut dalam di bagian Timur Indonesia tetapi belum dikelola dengan baik.   

Kita masih belum menjawab pertanyaan tentang seberapa penting investor asing di sektor hulu Migas Indonesia dan bagaimana memperlakukannya secara tepat untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Ini menjadi penting karena terkait dengan frasa-frasa yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. 

Tapi, coba kita lihat sebentar distribusi pemain sektor hulu Migas Indonesia seperti tersaji dalam gafik dibawah ini.    

SKK Migas-IPA Technical Division presentation dalam PwC (2014), diolah

Ternyata, sektor hulu Migas kita dikuasai oleh asing. Perusahaan asing, BU dan BUT, menguasai 82 persen produksi Migas kita dengan Chevron Pacific Indonesia yang terbesar (47%), dan, PT Pertamina hanya 18 persen.    

Apakah itu buruk, merugikan secara finansiel, merendahkan martabat bangsa, dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945? Jelas tidak dan bahkan kita butuh mereka.   

Kenapa demikian?   

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas itu membutuhkan investasi yang besar sekali. Selain itu itu, risiko kegagalan menemukan cadangan Migas yang mencukupi juga tak kalah besarnya. Hal ini terasa lebih mengikat untuk lokasi laut dalam di perairan Indonesia bagian Timur yang mencakup Blok Masela (Maluku Selatan).   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline