Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Semoga Ini Lebaran Terakhir

Diperbarui: 14 Mei 2021   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: shutterstock via kompas.com

Tahun lalu keluarga kecil saya tak mudik, baik itu ke Jakarta (keluarga mertua) maupun ke Ciamis (keluarga saya). Kami 'terpaksa' berlebaran di Jogjakarta. Ramadan dan Idul Fitri tahun itu rasanya seperti 'hilang.' Malam hari tak shalat tarawih di masjid, siang tak bisa ngabuburit dengan bebas, dan Idul Fitri tak ikut shalat Id, karena memang tak ada yang menyelenggarakan. Apalagi, seorang tetangga yang hanya terhalang dua rumah dinyatakan positif covid-19, lengkap, sekeluarga.

Padahal, jauh sebelum itu, saya sudah merencanakan mudik ke Ciamis. Rencananya, si bungsu hendak disunat setelah lebaran. Sudah terbayang serunya, setelah kumpul lebaran, kumpul lagi keluarga yang lebih besar. Dua ekor kambing sudah dipersiapkan untuk dipotong, karena selain sunat, juga sekalian akikahan.

Keluarga dari mertua yang di Jakarta, sudah siap pula berkunjung ke Ciamis. Sudah bersiap memesan tiket kereta. Selain menghadiri sunatan, berkunjung ke rumah besan, apalagi kalau bukan sekalian liburan.

Tapi rencana tinggal rencana. Semuanya batal. Sunatan si bungsu ditunda. Lebaran tak mudik. Kambing belum jadi dibayar, dan terpaksa batal dibeli. Untungnya punya sodara, jadi tak terlalu masalah. Mereka mengerti. Kalau maksa pulang, liburan seminggu masih kurang, karena harus karantina dua minggu. Percuma.

Semuanya harus dijadwal ulang. Harapannya, lebaran tahun ini rencana itu dilaksanakan. Mumpung si bungsu masih TK dan belajar di rumah, karena niatnya memang disunat sebelum ia masuk SD tahun ajaran baru nanti.

Tapi ya itu, lagi-lagi batal. Mudik dilarang pemerintah (lagi). Kali ini tampaknya lebih serius pelarangannya. Dimana-mana dicegat. Meski tetap saja banyak yang bocor. Selain itu, jatah cuti juga dipangkas. Lima hari jelas tak cukup, perjalanan bolak-balik saja butuh dua hari.

Kami menjalani Ramadan dan lebaran di Jogja lagi.  Memang lebih baik. Sudah bisa shalat tarawih di masjid, meski jamaahnya dibatasi. Shalat Id juga dilaksanakan seperti biasa.

Apa yang belum biasa? Biasanya setelah rangkaian shalat id selesai, seluruh jamaah akan saling bersalam-salaman, entah itu berkeliling atau acak. Dimulai dari dalam masjid berlanjut ke luar. Selama dalam perjalanan kembali ke rumah, acara bersalaman dan saling sapa dengan orang yang kenal maupun tak kenal terus berlanjut. Jika tak kenal atau tak terlalu akrab, cukup dengan salaman disertai senyum. Jika kenal, akan disertai dengan bincang-bincang singkat.

Sampai di rumah, acara sungkem dan saling meminta maaf sesama anggota keluarga dimulai. Meski kadang sudah bersalaman di masjid, rasanya itu tak afdol, harus dimulai lain dengan lebih serius. Di rumah saya dulu, kadang sampai nangis atau setidaknya terisak berlinang air mata.

Setelah diselingi makan ketupat atau hidangan lainnya, biasanya dilanjutkan lagi. Entah kita yang berkeliling atau ada tetangga yang mampir. Tak peduli tadi sudah sempat salaman di masjid, akan diulangi lagi.

Kali ini? Setelah shalat id dan khutbahnya selesai. Hanya panitia masjid saja yang 'mewakili' acara meminta maaf dan 'salaman' itu. Selanjutnya, bubar masing-masing, tak salaman tak saling sapa --karena banyak yang tak dikenali karena wajahnya tertutup masker. Sampai di rumah, hanya sungkem dengan keluarga inti saja. Ke rumah tetangga agak segan, apalagi jika di rumah tetangga itu kedatangan tamu dari tempat jauh, takut si tamu membawa penyakit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline