Lihat ke Halaman Asli

Alip Yog Kunandar

TERVERIFIKASI

Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Rumah Berantakan Tanda Ada Kehidupan

Diperbarui: 7 Maret 2021   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: diolah dari www.mom.com

"Maaf ya, rumahnya berantakan!"

Kalimat itu rasanya sering sekali kita dengar kalau berkunjung ke rumah orang, terutama yang baru kita kunjungi. Begitupun istri saya kalau rumah kedatangan tamu yang baru berkunjung. Biasanya, kalimat itu disertai dengan sang tuan rumah yang terburu-buru membereskan barang-barang, atau menyuruh anak-anak memberesi pun menyingkirkan mainannya dari ruang tamu.

Tak jarang pula kita berkunjung ke sebuah rumah yang sangat rapi. Barang-barang, setidaknya di ruang tamu, tertata rapi, bersih, bebas dari debu. Sunyi, tenang, dan terlihat sangat nyaman. Lalu kita membandingkannya dengan rumah sendiri yang tak seperti itu, dan berpikir, kapan ya rumah kita bisa serapi itu.

Rumah yang berantakan selalu diasosiasikan dengan tuan rumah yang malas beberes, dan sebaliknya, rumah yang rapi menandakan tuan rumah yang rajin. Bisa juga menunjukkan hal yang lain, rumah yang berantakan tak memiliki asisten rumah tangga, dan rumah yang rapi punya asisten yang selalu sigap mengembalikan barang ke tempat seharusnya.

Lalu benarkah yang bersih dan rapi itu selalu lebih baik?

Dalam perspektif keindahan dan kenyamanan mata, tentu saja. Tapi tunggu dulu, rumah berantakan tak selamanya berkonotasi buruk.

Waktu si sulung belum lahir --masih dalam kandungan-- dan istri saya sudah ikut pindah ke Jogja setelah meninggalkan pekerjaannya di Jakarta, rumah kontrakan itu selalu rapi. Saya ambil buku, sedang asyik dibaca, ditinggal sebentar, sudah balik lagi ke tempatnya. Halaman yang sedang dibaca 'hilang' dan harus mengingatnya lagi sampai di mana. Saya iseng melukis, ditinggal sebentar, peralatannya sudah dirapikan, padahal belum selesai. Punya waktu luang bikin meja, lemari, atau perabotan kayu lainnya --yang tak mungkin selesai satu hari---pas mau dilanjutkan sudah rapi lagi.

Apa jadinya? Mood membaca, melukis, atau ngoprek langsung hilang.

Lalu saat anak-anak mulai 'berdatangan,' yang pertama, kedua, ketiga, istri saya mulai kewalahan. Rumah tak bisa lagi rapi. Baru diberesi, sudah dibuat berantakan lagi. Mainan, pakaian, segala macam, bertebaran di mana-mana. Belum lagi saya yang memang hobi berantakan, melukis, membuat perabotan kayu, ngoprek motor, dan terutama kalau sedang menulis, buku-buku pasti bertebaran di sekitar meja kerja.

Saya lalu 'diusir' ke ruangan sendiri. Segala kegiatan saya di situ. Mau berantakan silakan, mau ngopi sambil ngebul silakan, tapi jangan di rungan lain. Bahkan kasur pun dan televisi pun tersedia di kamar saya itu, seperti saat jadi anak kos dulu.

Di ruangan lain? Tetap saja tak bisa rapi. Rupanya anak-anak menuruni bakat berantakan saya. Matras lepas disusun jadi rumah-rumahan, kaleng bekas disusun jadi pagar, kardus dibolongi jadi rumah 'barbie,' wajan dibuat atap rumah 'dome,' garpu disilangkan jadi arch pengantin. Sementara si bungsu yang cowok mengangkut batu, tanah, bahkan rumput dari luar, membuat trek mobil-mobilan mininya. Diberesi ibunya? Ngamuk semua!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline