Lihat ke Halaman Asli

Ali Arief

Seniman

Namaku Yatim

Diperbarui: 12 November 2019   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehadiranku di tengah kerumunan anak-anak yang bermain dengan penuh keceriaan terhenti secara tiba- tiba. Mereka memandangku seolah-olah tidak layak untuk bermain bersama. Mungkin sudah takdirku menjadi anak yatim yang miskin, yang selalu terpinggirkan dari mereka yang masih memiliki keluarga utuh, yang kebutuhan sehari-harinya terpenuhi. Sedangkan aku, seorang anak yatim yang tinggal di gubuk tua dan dibesarkan oleh seorang nenek di seberang sekitar perumahan mewah.

Namaku Yatim. Aku dilahirkan dari rahim seorang ibu yang hanya seorang buruh cuci. Ayahku seorang penarik becak. Beliau sudah tiada, saat aku berusia empat tahun. Sejak ayahku meninggal dunia, aku dititipkan ibu ke rumah nenekku. Aku cucu satu-satunya dari anak nenek, yaitu ayahku.

Aku tidak tahu, mengapa ayahku memberikan nama untukku, Yatim. Apakah karena ayahku sudah mengetahui, jika suatu hari nanti aku akan menjadi anak yatim. Setahun setelah ayahku meninggal dunia, ibuku meninggalkanku bersama nenek di gubuk tua ini. Ibuku merantau entah kemana,hampir lima tahun tiada kabar.

Aku terkadang merasa iri, saat melihat anak-anak seusiaku dapat bercengkerama dengan kedua orangtuanya. Hanya tetesan air mata saja yang sering jatuh dari pelupuk mataku ketika melihat kemesraan pada sebuah keluarga. Neneklah yang selalu menyemangatiku dan menyayangiku. Nenek menyadari, kalau hati kecilku ini terkoyak perasaan sedih mendalam.

Pernah di suatu  hari, aku diejek dan dihina anak-anak di perumahan mewah di seberang area gubuk tua tempat aku dan nenekku berteduh. Aku berlari dan menangis di hadapan nenek. Nenek memelukku, lalu membisikkan ke telingaku agar aku tetap bersabar terhadap hinaan anak-anak di perumahan mewah itu.

Aku merasa diperlakukan tidak adil, jika orang-orang yang kondisi dan keadaannya sepertiku ini, harus mendapatkan hinaan dan selalu direndahkan. Terkadang aku beranggapan anak yatim sepertiku ini hanya cocok diperolok-olok. Bukankah seharusnya aku mendapat perlindungan, belaian, dan kasih sayang dari orang lain?

Aku harus tetap tegar menjalani cobaan dan penderitaan yang selalu menyertaiku. Aku ingin suatu hari nanti dapat menjadi kebanggaan nenek. Walaupun aku harus bekerja keras. Aku yakin, Si Yatim ini akan membalikkan keadaan.

Tidak terasa waktu terus berputar begitu cepat, aku harus segera pulang untuk menemui nenek. Aku menemui nenek yang sedang memasak untuk makan siang nanti. Aku menghampiri nenek dan menyampaikan perihal anak-anak yang membubarkan diri saat muncul ke hadiranku di tengah-tengah mereka. Nenek hanya tersenyum dan membisikkan kata-kata yang sering dibisikkannya ke telingaku.

Aku terdiam sesaat. Mataku sedikit berkaca-kaca ketika nenek memelukku erat-erat. Dekapan nenek seperti membuatku melupakan kejadian yang telah kualami. Ya, Si Yatim harus tetap mengalah. Karena mengalah itu bukan berarti kalah.

Sejak aku bersama nenek, aku kembali seperti memiliki sandaran dan kekuatan untuk menggapai harapan dan impianku. Impian Si Yatim untuk membahagiakan nenek. Aku ingin di hari tuanya, nenek tidak harus bekerja lagi. Aku ingin gubuk tua tempat tinggalku ini dapat direnovasi dan nenek merasa nyaman untuk tinggal di rumah ini.

Dua puluh tahun sudah berlalu. Aku bukan Si Yatim yang dahulu lagi. Si Yatim yang sering mendapat ejekan dan hinaan. Aku tumbuh menjadi Yatim yang sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup lumayan. Aku sekarang tinggal di lingkungan perumahan mewah tepat di seberang gubuk tua, kenangan masa laluku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline