Lihat ke Halaman Asli

Alfonsus Jimmy Hutabarat

Masih mahasiswa.

Surat untuk Masa Depan

Diperbarui: 11 Juli 2019   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Hannu Viitanen/Dreamstime.com)

Nak, jika kau membaca surat ini, ketahuilah bahwa aku tidak sedang bersama ibumu atau wanita lain yang kemungkinan jadi ibumu. Aku sedang mengetik di rumah masa mudaku, di rumah kakek dan nenekmu. Sendirian, di kamar yang kusebut kamar astronot. Aku belum mampu membeli rumah untukku sendiri.

Aku masih cukup muda dan miskin. Masih bergantung pada orangtuaku. Oleh karenanya jika kau bertemu orangtuaku di masa depan yang kau panggil kakek dan nenek, jangan lupa cium tangannya walaupun sudah keriput.

Oh ya, bagaimana rupa ibumu? Apakah aku mendapat jackpot? Atau setidaknya beritahu aku bagaimana ia memperlakukanmu? Di saat aku menulis surat ini, mungkin 20 tahun sebelum kau membacanya, ibumu boleh jadi sedang bersenang-senang menikmati masa muda, berlibur ke luar kota bersama teman-temannya, atau bahkan pergi menonton film terbaru bersama pacarnya. Haaah!

Entahlah, Nak, saat ini aku tidak tau bagaimana rupa ibumu, di mana tempat favoritnya atau apa lelucon yang mampu membuatnya tertawa terbahak-bahak. Yang kutahu pasti, pacarnya tidak lebih tampan daripada aku, ayahmu ini. Jika kau tak percaya, pergilah ke kamarmu, bercerminlah. Lihat, kau terpesona bukan? Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Coba angkat sebelah alis matamu. Lihat? Tak semua orang bisa melakukannya bukan. Itulah pesonamu, pesona yang kuturunkan turun temurun masuk ke DNA-mu. Senjata yang kupakai untuk memikat para gadis, walau tak semua terpikat. Hahaha ya setidaknya ayahmu ini adalah orang yang cukup percaya diri di generasi ini. Tetapi hanya pada perempuan.

Nak, jika kau membaca surat ini di masa depan, ingatlah bahwa Michelangelo pernah dikritik oleh para pemuka agama ketika ia menampilkan beberapa kisah penciptaan dalam perjanjian baru di atas Kapel Sistine dengan gambar orang sepenuhnya telanjang.

Di pusat salah satu agama terbesar tersebut dia dihujat oleh banyak orang karena menampilkan seni dari gambaran imajinasi dirinya sendiri, tentang apa yang dibayangkannya tentang Tuhan, Adam, dan manusia lain, dalam keadaan telanjang. Hanya sedikit yang memuji karyanya.

Seiring berjalannya waktu, banyak orang menyadari bahwa gambaran telanjang tersebut sangat mewakili gambaran mengenai alam Ketuhanan. Mengapa? Karena pakaian yang melekat di badan manusia adalah produk kebudayaan, sangat duniawi. Ia hanya mewakili satu zaman.

Pakaian orang di zaman romawi tentu berbeda dengan pakaian orang di zaman modern. Bagaimana pula dengan pakaian manusia purba yang terbuat dari kulit atau pakaian seorang pekerja kantoran yang terbuat dari katun? Lantas ketelanjangan juga tak punya standar baku, batasan ketertutupan pakaian manusia pun merupakan produk kebudayaan yang berubah setiap waktu. 

Oleh karenanya kau bisa melihat beragam bentuk manusia dengan beragam gaya busana. Maaf jika memberatkan pikiranmu mengenai ini. Mungkin pembahasan ini tak akan kaudapatkan di sekolah, dan mungkin jika kau pahami tak akan menambah nilai rapormu.

Satu yang ingin aku sampaikan, aku tak menghendaki kau telanjang ke mana-mana. Setidaknya tidak jika kau tak punya alasan untuk itu. Aku hanya ingin kau menarik pelajaran dari kisah Michelangelo bahwa pandangan kita mungkin tak akan diterima oleh semua orang, tindak-tanduk kita pun juga begitu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline