Lihat ke Halaman Asli

Alex Japalatu

TERVERIFIKASI

Jurnalis

Mesin Ketik Manual

Diperbarui: 28 November 2022   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mesin Ketik (Sumber: Bukalapak.com) 

Saya belajar menulis dengan mesin ketik manual. Saya tak ingat persis kapan terakhir memakai mesin ketik, mungkin tahun  1998. Beberapa tulisan saya untuk harian di ibukota ketika itu saya tulis pakai mesin ketik. Dan dimuat. Senangnya tak alang-kepalang mendapatkan wesel honor yang jumlahnya sangat besar buat ukuran kantong mahasiswa di Yogyakarta.   

Meskipun demikian, mengetik pakai komputer sudah saya lakukan pada 1994, ketika dengan Pater Kimy Ndelo, CSsR mengurus Majalah WARTA Keluarga Mahasiswa Katolik Sumba (KMKS) di Yogyakarta. Waktu itu pengetikan masih langka di Yogyakarta. Apalagi yang pakai program Windows. Pater Kimy kini menjadi pemimpin (Provinsial) para Imam Redemptoris Indonesia.

Masuk ke Majalah PRABA sekitar 1998 ada dua unit komputer di sana. Yang disketnya masih "floopy A, floopy B". Waktu meliput untuk Tabloid GLORIA Jawa Pos, saya sudah sanggup membeli komputer rakitan (PC), terutama yang pakai program Windows dan bisa mendengarkan lagu-lagu. Disketnya sudah agak mungil. 

Lalu muncul flash disk sebagai pengganti disket untuk menyimpan data. Kemudian muncul  cloud, email, dan lain-lain. Sampai di sini mesin ketik sudah benar-benar saya lupakan.

Oleh karena mobilitas dan perlu mengerjakan tugas-tugas liputan (juga demi gengsi, hehehe), sebab PC yang ditanam di rumah tak bisa dibawa kemana-mana, datang netbook dan laptop. 

Saya pernah punya IBM bekas yang beratnya hampir 2 kg. Dibawa ke mana-mana, pundak terasa pegal juga. Suatu kali ketika sudah diganti dengan netbook yang sangat ringan, dua anak kami "berkelahi" rebutan main game di IBM. Kesenggol. Jatuh. Pecah. Ya, mau gimana lagi? Mereka kena skors tidak boleh sentuh laptop selama beberapa bulan.

PC Jadul (Sumber: Kearipan.com)

Tapi makin tua usia, mata juga mulai "kalah". Netbook dirasa kekecilan layar dan huruf-hurufnya. Jadilah diganti laptop yang 14 inci lebar layarnya. Lalu perlu yang 'isi dalam'nya lumayan canggih buat desain. Lalu dibawa berkeliling ke mana-mana. Berbagi tempat dengan pakaian dalam tas. Satu tas buat semua.

Saya ingat lagi mesin ketik ketika sering main ke rumah sastrawan Remy Sylado. Ia masih setia menulis pakai mesin tik. Semua novelnya, seperti diakui Remy ia tulis pakai mesin ketik.

"Bunyi ketak ketik..tak..tik..tak tik seperti membuka inspirasi dari kepala," alasannya. Bang Remy sebenarnya punya laptop yang diberikan oleh sebuah penerbit besar di Indonesia. Tapi ia parkir saja.

Dalam waktu yang hampir bersamaan saya juga kerap bermain ke rumah sastrawan Gerson Poyk (1931-2017). Di dekat Studio Alam TVRI Depok. Om Gerson punya laptop. Tapi ia lebih suka tulis tangan. Beberapa cerpennya yang terbit pada masa itu di harian Kompas, dikirim dalam tulisan tangan semua. Apakah Om Gerson punya "orang dalam" yang mau mengetik ulang cerpen-cerpennya?

Dalam tugas menulis sejarah Gereja Kristen Pasundan (GKP) Cawang pada tahun 2021  saya minta Anggota Majelis Jemaat yang mengepalai bidang-bidang tertentu untuk menyampaikan gagasan dan deskripsi tugas komisi-komisi di bawah mereka. Salah satunya dari Komisi Lansia. Yakni Yusak Warsito (65). Ia kemudian memberi saya 10 halaman kertas hvs yang diketik manual dengan sangat rapi. Lengkap dengan bekas tipp-ex di sana-sini.

Tipp Ex dan Tinnernya (Sumber: Tribunwikinews.com) 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline