Lihat ke Halaman Asli

Menteri Rizal, Ombudsman dan Investigasi Proaktif

Diperbarui: 14 September 2015   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Gambar diolah dari kompas.com"][/caption]

Kelas menengah dungu bukan hanya akan menindas kaum lemah yang tak beruntung, tapi juga membunuh dewa penolong mereka. Contoh nyata mengenai hal ini dapat kita lihat pada respon terhadap pernyataan Menteri Rizal Ramli mengenai ‘voucher listrik’. Menurut menteri Rizal, rakyat yang memberi pulsa listrik 100.000 rupiah mendapat potongan hingga yang tersisa tinggal 73.000. PLN mengkoreksi pernyataan tersebut. Menurut PLN yang benar mereka menerima 70 KWH, bukan tersisa 73.000 rupiah.

Boleh jadi Menteri Rizal memang melontarkan perhitungan tak cermat ke publik sehingga menuai banyak cela dari netizen. Tapi bagi mereka yang terbiasa berurusan dengan orang tak mampu, terlepas dari masalah akurasi, pernyataan Menteri Rizal dalam beberapa hal cukup beralasan. Perilaku orang miskin mengkonsumsi listrik tidaklah sama dengan para netizen berisik yang mewakili kelas menengah.

Untuk menikmati pulsa 100 ribu rupiah, warga tak mampu biasanya membeli voucher listrik 20.000 rupiah dalam 5 kali mengingat uang kas yang mereka pegang sangat terbatas. Jika dikenakan biaya administrasi bank 3.500 rupiah per transaksi dan Pajak Penerangan Jalan ditetapkan 5 persen dari nilai pembelian setelah dikurangi biaya administrasi, dana yang tersisa pada voucher adalah 15.675 rupiah. Jika pembelian dilakukan 5 kali, maka sisa uang yang dapat digunakan oleh kaum papa ini untuk total pembelian 100 ribu hanyalah 78.375 rupiah. Selisih kurang lebih 5 ribu rupiah dari angka yang disampaikan Menteri Rizal.

Meski angka yang diungkapkan tak persis sama, pernyataan Menteri Rizal bahwa hal ini membebani rakyat ada benarnya. Kunci persoalan ada pada biaya transaksi dan pengenaan pajak penerangan jalan. Tak ada yang mengetahui apa dasar penetapan biaya transaksi yang berbeda antara satu bank dengan bank lain. Lebih buruk lagi, Pemerintah tak mengaturnya ketika menyangkut penggunaan jasa perbankan dalam pelayanan publik.

Begitu pula dengan pajak penerangan jalan yang penarikannya dibebankan kepada PLN. Penarikan pajak harus dilakukan oleh pemerintah dan jika dilakukan melalui pihak ketiga tak menggugurkan prinsip keadilan. Patutkah Pemerintah memajaki orang miskin untuk penerangan jalan? 

Peran Ombudsman

Undang-Undang telah menugaskan Ombudsman Republik Indonesia untuk menangani laporan atas adanya dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik. Undang-Undang juga memasukkan ke dalam kriteria maladministrasi antara lain pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Kewajiban hukum apa yang diabaikan dalam kasus pembayaran voucher listrik ini? Undang-Undang Pelayanan Publik mengatur prinsip 'keadilan dan akuntabilitas' bagi penyelenggara pelayanan publik. Penetapan tarif administrasi yang sama untuk semua jumlah pembelian melalui perbankan berujung pada beban biaya yang ditanggung dalam pembelian listrik menjadi lebih tinggi untuk masyarakat tak mampu. Patut diduga Penyelenggara, dalam hal ini PLN, telah mengabaikan kewajiban hukum untuk menerapkan prinsip keadilan.

Di lapangan, ditemukan bahwa biaya administrasi juga berbeda di antara mitra. BRI dan Bank mandiri misalnya mengenakan tarif 3.500 rupiah, sedangkan yang lain di bawahnya. Perbedaan ini memunculkan potensi pelanggaran prinsip akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Publik.

Investigasi Proaktif

Gejala ini merupakan sinyal bagi Ombudsman untuk segera melakukan investigasi proaktif (atas inisiatif sendiri) sebagaimana diatur oleh Undang-Undang. Ombudsman tak perlu menunggu laporan dari masyarakat terebih dahulu. Investigasi proaktif ini bertujuan untuk melakukan systemic review dan memastikan aspek apa saja yang telah masuk ke ranah maladministrasi. Ombudsman cukup berhasil dalam kasus dwelling time. Hasil investigasi mereka bahkan telah dimanfaatkan oleh Presiden untuk menginstruksikan Polri melakukan penindakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline